Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
Fitur skema penyangga likuiditas ini berbeda dengan pasar uang atau pinjaman antar bank yang umum terjadi. Pembedanya yakni likuiditas akan bersumber dari dana pemerintah, dan dengan bunga yang dipastikan lebih rendah dari suku bunga pasar.
Sementara underlying alias jaminan bagi bank yang membutuhkan likuiditas yakni berupa kredit yang direstrukturisasi. Selain itu, bank-bank yang menjadi bank jangkar berhak untuk mengenakan margin (risk-adjusted return) untuk likuiditas yang disalurkan kepada bank atau perusahaan pembiayaan. "Skema ini pada dasarnya bersifat business to business (B2B)," jelasnya.
Baca Juga: Ekonom BNI menilai BI akan menahan suku bunga jika rupiah tak melemah
Sejauh ini, aturan main skema penyangga likuiditas ini masih dalam proses. Menurut Wimboh, pemerintah bersama dengan OJK sejauh ini sudah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait tata cara pemberian informasi dalam rangka penempatan dana.
Khusus untuk penyangga likuiditas ini, pemerintah yakni Kementerian Keuangan masih perlu mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Penempatan Dana. Sekaligus masih diperlukannya Nota Kesepahaman (NK) antara OJK dan BI terkait Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK).
Wimboh menegaskan, nantinya dana tersebut juga bersifat darurat. Artinya, yang diperkenankan untuk meminjam likuiditas dari bank jangkar adalah bank yang tingkat Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) di bawah 6%.
Baca Juga: Prudential sambut positif penjualan asuransi secara online
"Semua bank punya minimal PLM 6%, yang boleh menikmati skema ini adalah bank tertentu yang kondisi PLM-nya di bawah itu. Kalau masih ada surat berharga atau surat utang belum boleh," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News