Reporter: Fitri Nur Arifenie, Tendi Mahadi | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Jumlah peserta mandiri yang menunggak iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memang masih tinggi. Kendati begitu, angka rasio tunggakan iurannya menunjukkan tren penurunan.
Irfan Humaidi, Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan, menyebutkan, rasio tunggakan iuran dari peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja berada di level 30% dari total peserta. Sebelumnya, rasio tunggakan iuran mereka sempat menyentuh 34%. "Total peserta mandiri sendiri saat ini mencapai 13 juta orang," katanya, Selasa (20/10).
Rasio tunggakan yang diungkapkan Irfan termasuk peserta BPJS Kesehatan yang tidak membayar iuran selama enam bulan, sehingga status kepesertaannya dinonaktifkan. Sayang, Irfan tak hafal betul berapa jumlah peserta BPJS Kesehatan yang dibekukan keanggotaannya.
Menurut Irfan, kanal pembayaran iuran yang bertambah menjadi pendorong penurunan rasio tunggakan. "Kami lihat memang selama ini masih ada kesulitan dari peserta dalam mengakses tempat pembayaran," ujar dia.
Meski angka tunggakan iuran mengecil, rapor keuangan BPJS Kesehatan tetap masih merah. Di akhir tahun ini, lembaga ini menghitung bakal defisit hingga Rp 6 triliun.
Pendapatan premi BPJS Kesehatan pada tahun kambing kayu ini ditargetkan mencapai Rp 55 triliun. Per September lalu, jumlah premi yang dikantongi BPJS Kesehatan baru 71,09% atau sekitar Rp 39,1 triliun. Total peserta BPJS Kesehatan saat ini mencapai 153 juta orang.
Butuh dana subsidi
Hasbullah Thabrany, Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Universitas Indonesia (UI), mengatakan, kebutuhan biaya kesehatan memang sangat besar. Walau semua tunggakan iuran dilunasi, BPJS Kesehatan masih akan tetap defisit. "Sistemnya, sih, tidak salah, tapi manajemen BPJS yang kurang kompeten terhadap transparansi laporan keuangan," ungkap Hasbullah.
Itu sebabnya, Hasbullah bilang, pemerintah harus memberikan dana talangan kepada BPJS Kesehatan. Ia menghitung, pemerintah harus menggelontorkan dana segar antara Rp 60 triliun hingga Rp 70 triliun pada tahun depan. "Angka itu hanya 40% dari cukai rokok. Kalau cukai dinaikkan, pemerintah bisa memberikan subsidi," imbuh dia.
Hasbullah menjabarkan, problem BPJS Kesehatan saat ini adalah: pertama, iuran yang terlalu kecil. Kedua, pembayaran tarif dokter dan rumahsakit yang tidak sesuai, sehingga kualitas jasa layanan kesehatan masih buruk.
Nah, supaya defisit makin sempit, Hasbullah menyarankan iuran BPJS Kesehatan tidak dibatasi oleh dua kali penghasilan tidak kena pajak (PTKP). "Ini yang namanya subsidi silang dari si kaya ke miskin," kata Hasbullah.
Meskipun iuran BPJS Kesehatan tinggi, itu tak akan mematikan industri asuransi nasional. Sebab, pasar asuransi kesehatan komersial tidak lebih dari 3%. "Mereka bisa mencari ladang bisnis lain seperti kebakaran, kendaraan, dan kapal," ujar Hasbullah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News