Reporter: Galvan Yudistira, Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Dessy Rosalina
JAKARTA. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus mematangkan rencana penetapan rasio premi tambahan berupa program restrukturisasi perbankan (PRP) yang akan dibebankan kepada industri perbankan. Penentuan rasio premi PRP ini akan resmi tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP).
LPS telah memiliki beberapa pertimbangan terkait dengan perhitungan premi PRP. Pertimbangan awalnya adalah premi PRP dapat sebesar 2%-3% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). "Jika mengacu pada masukan Perbanas dan beberapa lembaga, maka premi PRP ini diperkirakan sebesar 0,05% dari total simpanan," kata Anggota Dewan Komisioner LPS Destry Damayanti, Selasa (11/7).
Dengan kajian awal rasio premi PRP sekitar 0,05% terhadap simpanan, maka nilai premi yang harus dibayar seluruh perbankan sekitar Rp 250 miliar tiap tahun. Sebelumnya, ada opsi premi PRP sebesar 0,2% terhadap total simpanan. Bagi Desty, angka tersebut terbilang kecil bagi perbankan dalam menyetor iuran premi PRP.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menambahkan, jika melihat jumlah perkiraan perolehan premi PRP sebesar Rp 250 miliar per tahun, maka nilai tersebut terbilang cukup kecil. "Ini hanya dapat menolong bank kecil, ujar Halim.
Selanjutnya, LPS bersama Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan masih akan membahas terkait berapa jumlah optimal pembayaran premi PRP oleh perbankan. Tujuan penentuan rasio premi PRP ini agar tidak memberatkan perbankan namun premi dapat digunakan sebagai dana penanganan ketika terjadi krisis.
Premi PRP mengacu pada Undang-undang No. 6 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) yang memberikan kewenangan bagi LPS dalam merestrukturisasi bank yang memiliki dampak sistemik.
Direktur Keuangan dan Treasuri PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko menilai, besar atau kecil tambahan premi tersebut akan menambah beban bagi perbankan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News