Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Saran Bank Indonesia (BI) agar pemerintah mempertimbangkan untuk menerapkan kebijakan wajib pegang Surat Berharga Negara (SBN) bagi investor selama periode tertentu ditolak oleh pemerintah. Pemerintah menilai, sejauh ini masih belum ada urgensi atau kepentingan untuk menerapkan kebijakan tersebut. Alasannya, SBN yang dibeli oleh investor asing kebanyakan adalah bertenor panjang di mana investornya cenderung "buy and hold". Dus, mereka dinilai tidak rentan terhadap gejolak.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rakhmat Waluyanto menuturkan, pada prinsipnya pemerintah beranggapan bahwa kebijakan apapun untuk menahan banjir modal asing alias capital inflow tidak boleh menyebabkan munculnya sentimen negatif pasar terhadap Indonesia.
"Apakah itu kebijakan minimum holding period atas SBN ataupun pengenaan pajak ekstra kepada investor asing. Khusus dari direktorat pengelolaan utang, saya belum melihat urgensinya karena investor asing membeli SBN yang bertenor panjang dan karakter mereka "buy and hold" sehingga tidak rentan gejolak ekonomi," jelasnya kepada KONTAN, Selasa malam (9/11).
Rakhmat menambahkan, jumlah SBN yang diterbitkan sudah dibatasi untuk kebutuhan pembiayaan anggaran negara (APBN). "Beda dengan pasar saham," katanya.
Sejauh ini untuk mengantisipasi risiko pembalikan dana dalam jumlah besar secara tiba-tiba, kepemilikan cadangan devisa RI yang semakin besar, mampu untuk menahan capital reversal. "Cadev cukup besar sehingga bisa menahan pembalikan modal," ujar Rakhmat.
Seperti ditulis KONTAN sebelumnya, BI menyarankan pada pemerintah untuk mempertimbangkan penerapan kebijakan wajib pegang kepemilikan SBN termasuk Surat Utang Negara (SUN) dalam rentang tertentu. Ini dimaksudkan untuk memitigasi risiko sudden reversal seiring semakin derasnya dana asing yang menyerbu SUN akhir-akhir ini. BI mengklaim, kebijakan serupa yang sudah diterapkan untuk kepemilikan Sertifikat BI (SBI) sudah cukup mampu menahan volatilitas arus hot money.
Eksposur dana asing ke SUN memang terus menanjak naik. Per 2 November 2010, nilainya sudah mencapai Rp 192,8 triliun atau sekitar 30% dari total outstanding SUN. Sedangkan di saat yang sama, pasar SUN amat terbuka alias tidak ada pengamannya sama sekali yang bisa meminimalisir dampak pembalikan dana secara tiba-tiba laiknya di pasar SBI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News