Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Debitur perbankan yang terdampak pandemi Covid-19 tidak akan lantas bangkit seluruhnya meskipun dilakukan restrukturisasi kredit. Beberapa debitur diperkirakan tetap berpotensi sulit bangkit menghadapi pandemi tersebut. Itu sebabnya, bank terus memupuk pencadangan untuk mengantisipasi risiko kredit ke depan.
Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bisa jadi semakin mempersulit debitur-sebitur tersebut untuk kembali bangkit.
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) misalnya, memperkirakan sekitar 80%-90% nasabah yang direstrukturisasi akan kembali lancar. Artinya ada sekitar 10%-20% yang akan sulit untuk bangkit.
Saat ini, BRI juga sedang mengkaji dampak PSBB jilid II terhadap debitur yang direstrukturisasi. "Namun secara umum kami perkirakan baik perbankan, pemerintah maupun pelaku usaha relatif lebih siap menghadapi PSBB ini dengan belajar pada pengalaman PSBB sebelumnya," kata Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan BRI kepada Kontan.co.id, Jumat (11/9).
Baca Juga: Tak perlu khawatir, perbankan pastikan layanan nasabah aman meski ada PSBB di DKI
Haru bilang, BRI telah memiliki infrastruktur baik regulasi internal, sistem, skema atau produk untuk mendukung nasabah-nasabah tersebut, termasuk akselerasi inisiatif digital.
Selain itu, lanjut Haru, dengan dukungan program-program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang cukup lengkap seperti subsidi bunga UMKM, penjaminan kredit UMKM dan korporasi, banpres produktif, bansos dan program lainnya diharapkan turut membantu debitur untuk bertahan dan pulih kembali. Hingga 10 Agustus 2020, BRI telah melakukan restrukturisasi kredit terhadap 2,9 juta debitur dengan nilai Rp 182,8 triliun.
Sementara PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) telah melakukan restrukturisasi kredit sebesar Rp 121 triliun. Bank ini memprediksi restrukturisasi tersebut akan rampung pada kuartal III.
Melly Melliana, Sekretaris Perusahaan BNI mengatakan, jika dalam perjalanannya debitur yang direstrukturisasi mengalami penurunan kemampuan maka BNI akan menempatkan debitur tersebut sebagai watch list untuk memitigasi risiko penurunan kualitas lebih lanjut. "Itu dilakukan dengan berpedoman pada 3 faktor ditetapkan oleh OJK yaitu prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan bayar," kata Melly.
Sebelumnya, manajemen BNI memperkirakan sekitar 6%-7% dari total debitur yang sudah direstrukturisasi akan sulit bangkit. Sebagian besar diproyeksi berasal dari sektor jasa perhotelan dan restoran, serta sektor manufaktur.
BNI memperkirakan, kredit macet (NPL) sampai akhir tahun ada dikisaran 3,7%-4,5%, naik dari 3% pada posisi Juni 2020. Untuk mengantisipasi risiko kredit, BNI akan melakukan pencadangan hingga 225%.
Baca Juga: Bank pelat merah dibayangi lonjakan kredit macet