Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para investor alias pemberi pinjaman lewat paltform fintech P2P lending bakal dimudahkan untuk mengurus pajak. Pasalnya skema pemotongan pajak sedang diupayakan untuk diubah.
PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia mengapresiasi rencana tersebut, karena selama ini pemberi pinjaman masih dipusingkan untuk mengurus sendiri surat pemberitahuan tahunan (SPT), yang merupakan surat wajib pajak yang digunakan untuk melaporkan perhitungan atau pembayaran pajak yang sesuai perundang-undangan.
”Cara ini repot banget, karena mereka harus memasukkan data dan membayar pajak sendiri,” kata Chief Executive Officer & Co-Founder Akseleran Ivan Tambunan, kepada Kontan.co.id, Senin (18/2).
Maka itu, ia menyarankan agar Direktorat Jenderal Pajak mengenakan PPh final, melalui skema Wajib Pungut (WAPU) PPN. Dalam skema ini, platform fintech membantu pemerintah untuk menarik pajak secara langsung kepada para pemberi pinjaman.
“Kalau misalnya WAPU, maka kami bisa memungut pajak sehingga tidak ada lagi yang lalai membayar pajak. Hal ini juga berpotensi menaikan pemasukan pajak pemerintah,” tambahnya.
Selama ini, pemberi pinjaman Akseleran dikenakan pajak penghasilan PPh 21 yang diambil dari bunga atas pinjaman. Individu dan korporasi dikenakan pajak masing-masing yang mencapai 30% dan 25%.
Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya belum ada konsep pemajakan baru untuk fintech lending. Jadi untuk saat ini ketentuan umum perpajakan yang ada dinilai masih relevan.
Contohnya, apabila peminjam adalah Wajib Pajak (WP) dari badan atau perusahaan, maka dia wajib membayar PPh 23 atau bunga yang dibayarkan kepada investor atau pemilik dana. Sedangkan wajib pajak orang pribadi (OP) tidak dikenakan PPh 23.
“Ini persis sama dengan transaksi pinjam meminjam konvensional atau non fintech, di mana fintech sendiri tidak ditetapkan sebagai wajib pungut atas PPh pasal 23,” jelasnya.
Sebelumnya sempat ada wacana dengan menjadi fintech sebagai penarik pajak melalui skema wajib pungut PPh final. Namun, Ditjen Pajak memutuskan tidak merealisasi wacana tersebut karena mempertimbangkan berbagai aspek, di antaranya bahwa fintech sebagai industri baru berkembang, dan para pelakunya tidak semua, padahal seharusnya membayar pajak.
“Jadi penetapan pajak ini melihat perkembangan dan pemetaan situasi lebih dulu. Kami tidak menerapkan kebijakan yang mungkin bisa menjadi hambatan untuk perkembangan fintech,” jelasnya.
Dengan sistem perpajakan berdasarkan prinsip self assessment system saat ini, menurutnya kepatuhan untuk membayar pajak adalah sesuatu yang diharapkan. Kecuali jika wajib pajak berasal dari perusahaan maka bisa dikenakan PPh 23, sehingga memudahkan dalam pengumpulan pajak.
Self assessment system adalah pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besaran pajak yang harus dibayarkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News