Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ingin melibatkan industri asuransi syariah dalam menggarap asuransi badan milik negara (ABMN). Memang program ABMN telah diinisiasi oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) guna melindungi aset negara saat terjadi bencana.
Direktur Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Syariah OJK Moch. Muchlasin menyatakan ABMN bisa menjadi sumber pemasukan premi atau kontribusi bagi industri asuransi syariah. Oleh sebab itu, OJK tengah menempuh cara agar menghubungkan Kemenkeu dan industri.
Baca Juga: OJK akan batasi penjualan bancassurance, ini tanggapan Bank Mandiri
“Belum bicara memang. Masih mencari proses bentuk, kita mengikuti dulu kesiapan asosiasi. Kami (OJK) pelan-pelan bicara dengan teman-teman Kementerian Keuangan yang bertindak sebagai pembeli. Mereka butuh apa, kita sediakan apa,” ujar Muchlasin di Jakarta pada Rabu (26/2).
Tak mau berlama-lama, Muchlasin menyatakan dalam waktu dekat akan segera bertemu dengan Kemenkeu. Ia berharap tahun ini sudah sudah mulai obrolan hingga Kemenkeu meninjau sejauh mana kesiapannya.
“Tapi asuransi syariah udah siap. Tentunya nanti ada kriteria dari mereka, harus modal sekian, kita akan liat kembali. Kan kita juga ada yang kecil, menengah, dan besar nanti kita sesuaikan. Yang penting kebijakan dulu, bahwa dibuka untuk asuransi syariah,” jelas Muchlasin.
Ketika kebijakan atau dasar hukum sudah digodok, barulah OJK berserta industri asuransi syariah menyiapkan produk asuransinya. Begitupun menyeleksi perusahaan asuransi syariah yang sesuai kriteria.
Baca Juga: Kemenag: Potensi asuransi perjalanan umrah bisa capai Rp 60 miliar
Ia berharap dengan menggarap ABMN, bisnis asuransi syariah bisa meningkat. Berdasarkan data OJK aset asuransi syariah tercatat sebanyak Rp 45,45 triliun pada 2019. Nilai itu tumbuh 8,45% secara tahunan atau year on year (yoy) dari Desember 2018 senilai Rp 41,91 triliun.
Adapun pendapatan premi atau lebih dikenal dengan kontribusi mencapai Rp16,7 triliun pada 2019. Nilai itu tumbuh 8,72% yoy dari posisi 2018 senilai Rp 15,36 triliun.
Sebelumnya, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia telah membentuk konsorsium ABMN yang beranggotakan 52 perusahaan asuransi umum dan 6 perusahaan reasuransi dengan total kapasitas sebesar Rp 1,39 triliun. Pembentukan konsorsium ABMN dilakukan di Jakarta pada 5 Juli 2019.
Seluruh perusahaan yang tergabung dalam konsorsium ABMN telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan yaitu memiliki modal sendiri minimal Rp 150miliar, memiliki RBC minimal 120% dan rasio likuiditas minimal 100%.
Baca Juga: OJK: Asuransi umrah dan haji bisa tingkatkan bisnis asuransi syariah
Adapun Kemenkeu telah menandatangani polis ABMN senilai Rp 21,25 miliar pada Desember 2019. Adapun pada tahap itu, BMN yang diasuransikan berupa gedung Kementerian Keuangan sebanyak 1.360 unit dengan nilai sebesar Rp10,84 triliun.
Pada 2020 ini, akan ada implementasi asuransi BMN yang dilaksanakan pada 10 Kementerian/Lembaga (K/L), untuk selanjutnya berturut-turut di tahun 2021 dan 2022 akan ada 20 K/L dan 40 K/L. Pemerintah merencanakan asuransi BMN ini akan selesai diimplementasikan pada seluruh K/L pada tahun 2023.
Penyampaian polis asuransi ini adalah tindak lanjut dari penandatanganan perjanjian kontrak payung penyediaan jasa asuransi BMN dan Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) yang telah dilaksanakan pada November 2019.
Sekretaris Jenderal Kemenkeu Hadiyanto mengatakan pengasuransian BMN ini bertujuan untuk pengamanan BMN, kepastian keberlangsungan pemberian pelayanan umum, kelancaran tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan, serta mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca Juga: Imbas Jiwasraya, OJK bakal batasi pemasaran bancassurance
Pemerintah berdalih asuransi BMN menjadi penting karena sebagai salah satu negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi, Indonesia sudah beberapa kali menghadapi beragam bencana yang menimbulkan banyak kerugian ekonomi termasuk kerugian BMN.
Alasannya, selama ini hampir seluruh biaya rehabilitasi dan rekonstruksi bencana ditanggung oleh pemerintah, sehingga sangat membebani APBN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News