Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun rancangan peraturan atau RPOJK mengenai kewajiban pemenuhan rasio kecukupan likuiditas bank atau liquidity coverage ratio (LCR).
Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK, Nelson Tampubolon menuturkan, industri dan juga pemangku kepentingan sudah di mintakan pendapat terkait aturan ini.
Seperti halnya permodalan, perhitungan rasio likuiditas diperlukan untuk mengukur level minimum likuiditas yang harus dikelola oleh bank dan disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku, yaitu Basel III: Liquidity Coverage Ratio and Liquidity Risk Monitoring Tools.
Liquidity Coverage Ratio adalah perbandingan antara High Quality Liquid Assets (HQLA) dengan total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama 30 hari ke depan dalam skenario krisis.
Di asumsikan 30 hari karena bank telah dapat melakukan tindakan-tindakan perbaikan yang semestinya atau bank telah berhenti beroperasi dengan cara yang wajar.
OJK memiliki kewenangan untuk menetapkan LCR yang lebih besar dari kewajiban pemenuhan LCR jika suatu bank membutuhkan likuiditas yang lebih besar. "Jadi dalam jangka waktu jangka pendek itu, tersedia likuiditas yang siap pakai kalau ada tekanan," kata Nelson kepada KONTAN, Senin (10/8).
Aturan LCR ini akan berlaku bagi bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4 terlebih dahulu di 2015.
Nelson mengatakan OJK telah memulai assessment LCR sejak tahun lalu. Dan hasilnya, perbankan di Indonesia dinilai memiliki pemenuhan likuiditas yang baik. Dalam assassmentnya, OJK memantau tingkat keamanan likuiditas di perbankan BUKU 4 dan BUKU 3. Pasalnya dua kategori bank ini merupakan market player di industri perbankan.
"Jadi kami utamakan terlebih dahulu BUKU 4 dan BUKU 3 karena biasanya mereka punya likuiditas banyak," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News