Reporter: Dea Chadiza Syafina |
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) tengah menggodok pengetatan kebijakan bagi kredit properti, salah satunya adalah kredit pemilikan rumah (KPR) dalam status inden. Pengetatan kebijakan ini diperkirakan akan keluar pada akhir September mendatang.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A. Johansyah menjelaskan, kisi-kisi aturan ini di antaranya adalah bahwa untuk uang muka atau down payment (DP) properti tidak boleh dilakukan dengan cara kredit. Ini berarti, DP properti harus dibayarkan secara tunai atau cash. Hal ini juga terlarang bagi penggunaan Kredit Tanpa Agunan (KTA).
Kisi-kisi pengetatan aturan selanjutnya adalah bahwa bank termasuk juga bank syariah, hanya dapat memberikan KPR jika properti yang dijadikan agunan telah tersedia secara utuh atau terlihat wujud fisiknya sesuai dengan spesifikasinya sesuai dengan yang diperjanjikan.
"Aturan itu dikecualikan bagi kepemilikan KPR pertama. KPR pertama boleh inden walaupun belum ada wujudnya, tapi sesuai dengan kemajuan perkembangan pembangunan properti," kata Difi di Gedung BI, Jakarta, Selasa (17/9).
Kemudian, kisi-kisi lainnya adalah pencairan fasilitas KPR tersebut oleh bank termasuk bank syariah, hanya dapat dicairkan sesuai dengan perkembangan pembangunan properti tersebut. Dengan begitu, dalam tahapan-tahapan perkembangan pembangunan properti tersebut, pengembang properti harus memberikan laporan kepada bank yang bersangkutan.
Perlindungan nasabah
Difi menyebut, secara teknis aturan ini akan diperjelas melalui Surat Edaran (SE) BI. Aturan ini, kata Difi adalah untuk menambah perlindungan terhadap nasabah terutama nasabah dengan beban kredit jangka panjang. Dengan aturan ini, kata Difi, akan terdapat klausul bahwa pengembang properti akan menyelesaikan pembangunan properti sesuai dengan yang diperjanjikan.
"Dengan aturan ini nantinya jangan sampai kredit rumah sudah dikucurkan oleh bank, tapi digunakan untuk membangun tempat lain oleh pengembang. Ini sekaligus memberikan perlindungan kepada nasabah untuk mendapatkan wujud properti sesuai dengan yang dijanjikan oleh pengembang. Nanti juga akan ada klausul yang mengatur kalau developer tidak menyelesaikan pembangunan properti yang dijanjikan," ujar Difi.
Sebelumnya, Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor. Aturan ini berlaku sejak 15 Juni 2012 atau tiga bulan setelah dirilis.
Latar belakang aturan ini adalah sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) maka Bank perlu meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran KPR dan KKB karena pertumbuhan KPR dan KKB yang terlalu tinggi berpotensi menimbulkan berbagai risiko bagi bank.
Ancaman bubble
Sementara dari sudut pandang makro prudensial, pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang besar.
Untuk itu, agar tetap dapat menjaga perekonomian yang produktif dan mampu menghadapi risiko sektor keuangan di masa yang akan datang, BI merasa perlu adanya kebijakan yang dapat memperkuat ketahanan sektor keuangan untuk meminimalisir sumber-sumber kerawanan yang dapat timbul, termasuk pertumbuhan KPR dan KKB yang berlebihan. Kebijakan tersebut dilakukan melalui penetapan besaran Loan to Value (LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) untuk KKB.
Ketentuan Pokok aturan ini di antaranya adalah:
- Pengaturan Loan to Value (LTV) pada KPR: LTV paling tinggi 70% untuk kredit kepemilikan rumah dengan kriteria tipe bangunan di atas 70m2. Pengaturan mengenai LTV dikecualikan terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah.
- Besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB sesuai Surat Edaran ini mulai diberlakukan 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Surat Edaran (sejalan dengan pengaturan oleh Bapepam LK).
- Besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB tidak berlaku untuk kredit yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum berlakunya sesuai Surat Edaran ini.
- Sanksi pelanggaran atas :
a. Pemberian KPR dan KKB dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009, antara lain berupa: 1) Teguran tertulis; 2) Penurunan tingkat kesehatan Bank; 3) Pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau 4) Pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
b. Pelanggaran atas kewajiban penyampaian penyesuaian kebijakan dan prosedur dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009.
- SE ini mulai berlaku pada tanggal 15 Maret 2012, sedangkan ketentuan mengenai besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB mulai berlaku pada tanggal 15 Juni 2012
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News