Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) terus menegosiasikan isi Perjanjian Kerjasama Operasional (PKO) penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Kemenpera menjanjikan kesepakatan bunga akan tercapai akhir bulan ini, sehingga Maret nanti PKO baru bisa ditandatangani.
Jika kedua pihak gagal mencapai titik temu, program warisan Sohoarso Manoarfa, Menteri Perumahan Rakyat terdahulu, bisa bubar di tengah jalan. Dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI, kemarin (8/2), tim tenaga ahli DPR menyarankan pemerintah menghentikan pembiayaan jika pembahasan bunga terus menemui jalan buntu.
Sri Hartoyo, Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera, menegaskan, akan membuat keputusan akhir bulan ini. "Kami tidak akan membubarkan program ini karena untuk kepentingan rakyat," katanya. Sri menambahkan, pemerintah menuntut bunga sekitar 5%-6% agar daya beli masyarakat berpenghasilan rendah terdongkrak. Sehingga jumlah kepala keluarga yang belum memiliki rumah berkurang.
Namun, jika perbankan tetap ngotot tingkat bunga sebesar 7%-8%, Kemenpera akan melobi Kementerian Keuangan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku pemilik bank BUMN. Jika pemerintah mau mengurangi setoran dividen, bank bisa memangkas bunga kredit.
Dalam rapat yang sama, Iqbal Latanro, Direktur Utama BTN, menyampaikan dua opsi bunga FLPP. Pertama, bunga kredit ditekan menjadi 7,75% dari tuntutan sebelumnya 8,5%. Ini dengan asumsi pemerintah menyetor dana sebesar 60% dan menjamin sebagian risiko kredit. Kedua, bunga kredit 8,55%. Asumsinya pemerintah menyetor dana 50% dan tanpa jaminan.
Penjaminan kredit dilaksanakan oleh Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo). Dari total risiko, pemerintah menanggung 70% sedangkan sisanya menjadi urusan bank.
Jadi, dari kedua opsi tersebut, bank tetap tidak bisa mengikuti kemauan Kemenpera yang menuntut bunga sebesar 6%.
Irman A. Zahiruddin, Direktur BTN, menilai instruksi penurunan bunga kredit FLPP tidak adil. Di satu sisi bank harus menurunkan bunga kredit, di sisi lain pemerintah tidak menambah porsi dana FLPP. Menurut dia pemerintah seharusnya menggelontorkan dana sebesar 100% dari kebutuhan jika memang benar-benar untuk kepentingan rakyat. "Jika porsi dana sebesar 100%, bunga akan sebesar 5%," tutur Irman.
Sri menegaskan, pihaknya tidak bisa menambah dana karena anggaran belanja Kemenpera terbatas. Misalnya anggaran pengadaan 1,35 juta unit rumah sampai 2014. Kemenpera butuh dana Rp 42 triliun, tapi realisasinya hanya Rp 20,7 triliun. "Dana kami memang kecil," imbuhnya.
Iqbal menilai program FLPP tidak menarik bagi bank lain. Hal tersebut terbukti dari jumlah realisasi FLPP sampai akhir tahun ini mencapai Rp 5,8 triliun untuk 100.000 unit rumah. Dari jumlah itu, pangsa pasar BTN mencapai 99,8%. "Kami akan tetap komit melakukan penyaluran kredit FLPP ini asal tingkat bunganya dapat dipertanggungjawabkan," tutur Iqbal.
Komisi XI tidak dapat berbuat banyak untuk menjembatani kedua pihak. Usulan yang berkembang, menyarankan pemerintah menawarkan program ini ke bank lain jika BTN tetap ngotot atau BTN menjadi bank satu-satunya penyalur FLPP dengan perjanjian tingkat bunga yang lebih rendah. Hal tersebut bisa dicapai dengan asumsi BTN sebagai penyalur tunggal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News