Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai penawaran bunga tinggi di platform digital bisa jadi solusi di tengah ketatnya likuiditas perbankan saat ini. Jika ke depan likuiditas sulit melonggar, tren ini diperkirakannya masih akan berlanjut.
“Dengan likuiditas yang ketat beberapa bank memanfaatkan platform digital untuk mencari dana pihak ketiga (DPK), dan yang paling cepat memang dengan menawarkan bunga tinggi. Meskipun mahal, namun penyelamatan likuiditas bagi bank saat ini lebih utama,” katanya kepada Kontan.co.id.
Sebagai catatan, likuiditas Bank Amar memang tercatat sangat ketat. Per September 2019 lalu perseroan mencatat loan to deposit ratio (LDR) mencapai 118,55%. Meski demikian, rasio tersebut sejatinya mulai menurun dibandingkan September 2018 yang mencapai 146,42%.
Adapun hingga September 2019, pertumbuhan DPK Bank Amar tercatat lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kreditnya. Dari laporan belum teraudit, DPK perseroan tumbuh 67,02% (yoy) menjadi Rp 1,83 triliun, sedangkan kredit tumbuh 50,69% (yoy) menjadi Rp 2,05 triliun.
Baca Juga: Bank BUKU IV berlomba gandeng kerjasama dengan WeChat Pay dan Alipay
Bhima juga menambahkan, iming-iming bunga tinggi sejatinya bukan tanpa resiko. Sebab kini tren bunga acuan maupun bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga terus menurun. Kini bunga penjaminan LPS ditetapkan sebesar 6,25%.
“Jika terjadi gagal bayar atau kesulitan likuiditas pada bank, maka simpanan di atas bunga penjaminan LPS tidak akan dijamin. Jadi resiko bagi nasabah sebenarnya cukup tinggi,” lanjut Bhima.
Sementara sejumlah bank yang mengklaim akan beroperasi secara digital seperti PT Bank Royal Indonesia yang merupakan entitas anak BCA, dan PT Bank Artos Indonesia Tbk (ARTO) masih enggan mengungkapkan strategi penghimpunan dananya.
“Kami akan ikuti perkembangan pasar dan ketentuan saja,” kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiatmadja kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Benny Tjokro ditahan Kejagung terkait Jiwasraya, ini kata MYRX