Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para bankir tanah air mengaku tak risau dengan harga minyak yang anjlok hingga 30% hari ini, Senin (9/3). Sebaliknya, mereka mereka bilang terdapat sejumlah peluang yang dimanfaatkan dalam kondisi ini.
Hal tersebut karena industri perbankan tanah air sejatinya memang mulai mengurangi eksposurnya ke segmen Migas, maupun pertambangan. Dua segmen industri yang sensitif terhadap harga minyak.
Baca Juga: Jiwasraya bermasalah, Kementerian BUMN diminta DPR bentuk perusahaan asuransi baru
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Sunarso bahkan menyatakan dalam jangka pendek merosotnya harga minyak bakal bermanfaat bagi perseroan, karena debitur utama BRI di segmen UMKM bakal menikmati hal ini.
“Analisis saya, UMKM sebenarnya akan diuntungkan dengan penurunan harga minyak dalam jangka pendek. Termasuk untuk kami yang punya segmen utama di sana. Buat BRI harga minyak turun tak terlalu banyak imbasnya, harga minyak turun, justru kami banyak diuntungkan” katanya di Menara Kompas, Jakarta Senin (9/3).
Dari presentasi korporasi perseroan, sepanjang tahun lalu segmen Migas dan pertambangan sejatinya terhitung mini, senilai Rp 16,83 triliun atau setara 17,2% dari total kredit korporasi perseroan senilai Rp 191,1 triliun.
Tahun ini, segmen korporasi pun tak akan dipacu tinggi. Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo bilang kredit korporasi tahun ini cuma ditargetkan tumbuh 5%. ini dilakukan menjaga target pertumbuhan kredit perseroan sepanjang 2020 di kisaran 10%-11%.
Baca Juga: BRI: Harga minyak turun, debitur kami untung
“Tahun ini target kredit kami tetap 10%, karena portofolio kami di mikro sebenarnya tahun lalu tumbuh 15%, sementara korporasi akan kami salurkan lebih selektif dengan target 5%. Kalau dirata-rata masih bisa mencapai 10%,” ujarnya dalam kesempatan serupa.
Sayangnya, rasio kredit macet perseroan diakui Haru memang tercatat meningkat di awal tahun ini menjadi 2,82%. Akhir tahun lalu rasionya mencapai 2,62%.
Adapun Presiden Direktur PT OCBC NISP Tbk (NISP) Parwati Surdaudaja juga menyatakan hal senada. Alih-alih soal harga minyak, perseroan lebih khawatir perlambatan ekonomi berkepanjangan bakal mengganggu kredit.
“Dampak besar lebih mungkin terjadi dari perlambatan ekonomi berkepanjangan. Sejak akhir tahun lalu kami juga sudah mulai mewaspadai ini, dan akan tetap jadi fokus untuk tahun ini,” katanya kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Siap hadapi corona, ini saham-saham jagoan Mirae Asset Sekuritas
Meski demikian, Parwati juga mengaku mulai terjadi peningkatan kredit macet di awal tahun ini menjadi kisaran 2%. Sedangkan akhir tahun lalu, kredit macet perseroan berada di level 1,72%.
Sementara Presiden Direktur PT Bank Mayapada Tbk (MAYA) Hariyono Tjahrijadi menjelaskan meskipun penurunan harga minyak sejatinya bakal mengurangi subsidi negara, namun industri keuangan diakui bakal kena dampak ketidakpastian.
“Ketidakpastian ekonomi akan merambah kemana-mana, termasuk industri perbankan. Soal dampak lebih lanjut butuh pengamatan lebih, dan ini akan sangat tergantung dari stimulus yang dikeluarkan pemerintah,” ungkapnya kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Duh, dana kelolaan reksadana melorot Rp 13 triliun di Februari gara-gara corona
Adapun pengaruh secara langsung diakui Hariyono tak akan besar, lantaran bank milik taipan Dato Sri Tahir ini mengaku tak memiliki eksposur ke segmen Migas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News