Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Stabilitas likuiditas perbankan nampaknya menjadi salah satu sorotan pemangku kebijakan untuk menjaga sistem keuangan di Tanah Air. Kendati sampai dengan Februari 2020 ketahanan perbankan masih dipandang kuat, Bank Indonesia tetap mengeluarkan sederet bauran kebijakan agar likuiditas tetap terjaga.
Yang terbaru, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 13 April-14 April 2020 bank sentral memutuskan untuk kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah masing-masing sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional (BUK) dan 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS). Pelonggaran ini akan mulai berlaku pada 1 Mei 2020.
Baca Juga: Penguatan rupiah terhenti setelah BI menahan suku bunga acuan
BI juga memutuskan untuk tidak mewajibkan tambahan giro untuk pemenuhan rasio intermediasi (RIM) baik untuk BUK, BUS maupun UUS per 1 Mei 2020 yang berlaku selama satu tahun. Lewat dua pelonggaran kebijakan ini, menurut hitung-hitungan BI bisa menambah likuiditas perbankan sekitar Rp 117,8 triliun.
Sebelumnya, BI juga telah telah melakukan injeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan hampir Rp300 triliun. Injeksi likuiditas dilakukan melalui berbagai kebijakan, seperti pembelian SBN dari pasar sekunder sebesar Rp 166 triliun, penyediaan likuiditas kepada perbankan lebih dari Rp 56 triliun melalui mekanisme term-repo dengan underlying SBN yang dimiliki perbankan, penurunan kembali GWM rupiah sebesar 50 bps yang berlaku efektif 1 April 2020, yang menambah likuiditas sekitar Rp 22 triliun.
Di luar itu, penurunan GWM rupiah pada 2019 dan awal 2020 juga telah menambah likuiditas sekitar Rp 53 triliun, serta penurunan GWM valas sebesar 4% untuk menambah likuiditas valas perbankan sekitar US$ 3,2 miliar.
"Respons kebijakan ini kemudian dapat menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan tetap memadai, tercermin pada rerata harian volume PUAB Maret 2020 yang tetap tinggi sebesar Rp 12,8 triliun serta rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 22,81% pada Februari 2020," terang Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Video Conference di Jakarta, Selasa (14/4).
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro menilai keputusan BI tersebut sudah sesuai dengan ekspektasi dan keinginan pasar. Menurutnya, bank saat ini memang membutuhkan dukungan untuk menjaga likuiditas di sistem perbankan terutama untuk jangka pendek dan menengah.
"Kebijakan makroprudensial BI dengan memangkas GWM sebesar 200 bps sangat tepat sebagai dukungan lanjutan yang dibutuhkan industri perbankan untuk mengoptimalkan hasil relaksasi di sektor riil," terangnya kepada Kontan.co.id, Selasa (14/4).
Sebelumnya, Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk Pandji P. Djajanegara menilai bahwa likuiditas memang menjadi patokan penting agar perbankan bisa tetap berkerja maksimal. Bak darah dalam tubuh manusia, likuiditas dibutuhkan perbankan untuk memenuhi kebutuhan permintaan dana dari nasabah maupun debitur.
Apalagi, dengan adanya relaksasi penilaian kredit dan kebijakan restrukturisasi tentu menurut Pandji hampir seluruh perbankan harus punya cadangan likuiditas lebih besar dari biasanya. Sebab, dalam kondisi pelemahan ekonomi seperti sekarang, menurut kacamata Pandji kualitas kredit menjadi sorotan pertama bagi industri perbankan. "Dampak pertama ke NPL, artinya provisi bank pasti naik. Kalau provisi naik sementara pemasukan tidak ada, likuiditas bisa terganggu," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (13/4) malam.
Baca Juga: Bank tak wajib penuhi RIM, ini maksud Gubernur BI Perry Warjiyo
Namun, bagi bank-bank besar tentunya cadangan likuiditas akan lebih jumbo ketimbang bank kecil. Misalnya saja, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) yang mengaku telah meningkatkan cadangan likuiditas 30% lebih besar saat ini. Direktur Finance, Planning, & Treasury Bank BTN Nixon L. P. Napitupulu menuturkan kalau pada kondisi normal cadangan likuiditas BTN hanya Rp 13 triliun, saat ini cadangannya bisa mencapai Rp 20 triliun.
Tentunya, hal ini disebabkan oleh banyaknya debitur BTN yang direstrukturisasi. Menurut catatan perseroan, hingga akhir Maret 2020 sudah ada 17.000 debitur KPR BTN yang diberikan pelonggaran pembayaran. "Sudah ada 17.000 lebih debitur yang pinjamannya sudah dilakukan restrukturisasi. Yang mengajukan permohonan restrukturisasi angkanya puluhan ribu," ujarnya akhir pekan lalu.
Serupa, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Haru Koesmahargyo menyebutkan, likuiditas BRI masih sangat kuat dalam menghadapi potensi restrukturisasi kredit.
Hal itu tercermin dari loan to deposit ratio (LDR) BBRI per Februari 89,5%. "Kebutuhan likuiditas BRI masih sangat mencukupi. Rasio LCR maupun NSFR pun terjaga di atas minimum yang dipersyaratkan sebesar 100%," jelasnya belum lama ini.
Adapun, beberapa bank kecil yang dihubungi Kontan.co.id mengaku likuiditas masih aman. Direktur Kepatuhan PT Bank Woori Saudara Tbk (BWS) I Made Mudiastra bilang dari sisi dana deposito perseroan masih cukup tinggi. Terbukti, per Februari 2020 lalu deposito Bank BWS masih naik 15,96% secara yoy menjadi Rp 14,07 triliun.
Baca Juga: BI turunkan GWM dan perlonggar kebijakan, likuiditas bank bertambah Rp 117,8 triliun
"Kami tidak terlalu mengejar dana, karena kredit sementara masih direm melihat kondisi ekonomi sekarang," ungkapnya.
Asal tahu saja, rata-rata bank kecil memang lebih banyak mengandalkan deposito sebagai sumber pendanaan lantaran terbatasnya akses ke instrumen lain serta perbedaan karakteristik pembiayaan dibanding bank besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News