Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Sepanjang sejarah, baru kali ini perbankan memangkas bunga kredit tanpa didahului oleh pergerakan BI rate. Demikian pernyataan Irwan Ariston Napitupulu. Makanya, pengamat pasar modal ini mempertanyakan langkah Bank Indonesia (BI) tak menurunkan suku bunga acuannya, Kamis (15/10) lalu.
Bukan hanya Irwan, akademisi dan ekonom juga bertanya hal serupa. Sebut saja, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Emil Salim dan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. Enny bilang, pemerintah sudah berkomitmen memberikan berbagai stimulus. “Kalau tidak diimbangi kelonggaran likuiditas berupa penurunan BI rate, maka persoalan high cost economy masih akan terus kita hadapi,” ungkap Enny.
Bank papan atas yang sudah memangkas bunga kredit adalah PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA, menyatakan, sejak awal tahun BCA menggunting bunga kredit, meski BI rate terus bertahan di posisi 7,5%. Hanya, tiap produk berbeda-beda penurunan bunganya. “Sudah turun antara 0,25% sampai 2% sejak awal tahun ini,” katanya.
Selain BCA, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk (BRI) dan PT Bank Mandiri Tbk juga sudah menurunkan bunga kredit terutama kredit ritel. Untuk kredit pemilikan rumah (KPR), PT Bank Maybank Indonesia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk yang sudah memangkas bunganya (lihat tabel).
Meski sudah turun, pergerakan bunga kredit perbankan menuju angka yang lebih rendah lagi bak siput. Selain itu, pengguntingan bunga kredit terjadi rata-rata di semester satu. Di paro kedua, tampaknya belum ada satu pun bank yang menurunkan bunga kredit. Contoh PT Pan Indonesia (Panin) Bank Tbk. Pada Februari 2015, Panin menurunkan bunga kredit ritel dari 12,31% ke 12,11% dan bunga kredit mikro dari 21,01% jadi 20,44%. Sejak itu, tak ada lagi koreksi bunga kredit.
Padahal, penyaluran kredit sangat penting bagi perusahaan yang membutuhkan pendaaan untuk ekspansi usaha. Hampir semua bankir yang dihubungi Tabloid KONTAN seolah-olah kompak menjawab, alasannya karena BI rate masih tinggi dan kompetisi sesama bank.
Hery Gunardi, Direktur Mikro dan Ritel Bank Mandiri, belum bisa memastikan apakah banknya akan menurunkan suku bunga kredit lagi sebelum tahun 2015 tutup tahun. Tapi, Bank Mandiri sedang mengkaji penurunan bunga kredit. Dia punya alasan: pemangkasan bunga kredit sangat tergantung dari cost of fund (CoF). “Kalau BI rate turun, CoF turun. Kalau CoF turun, bunga kredit ada ruang turun,” katanya.
Tapi, Imam Nugroho Soeko, Direktur PT Bank Tabungan Negara (BTN), mengatakan, CoF bukan satu-satunya faktor. Kompetisi juga menjadi faktor BTN mau memangkas bunga kredit atau tidak. “Kan, kami follower. Mereka menurunkan, mau tidak mau kami juga harus menurunkan,” cetus dia.
Permintaan melambat
Yang jelas, faktor risiko kredit juga menjadi pertimbangan para bankir. Di tengah perlambangan ekonomi, risiko kredit perbankan melonjak. Data BI per Agustus 2015 menunjukkan, rasio kredit bermasalah alias nonperforming loan (NPL) kredit modal kerja dan kredit investasi masing-masing sudah bertengger di angka 3,20% dan 2,91%. Itu berarti, NPL kredit modal kerja dan kredit investasi tumbuh 0,25% dan 0,21% hanya dalam tempo dua bulan.
Cuma, NPL tertinggi ada di kredit sektor konstruksi sebesar 5,46%. Posisi berikutnya kredit sektor jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan, dan lainnya 4,46%; perdagangan besar, dan eceran 4,11%; serta sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi 3,72%.
Penyebab rasio NPL naik, kata Sutanto, Director Business Banking II PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk, adalah harga komoditas yang anjlok dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Situasi ini menyebabkan risiko kredit BNI mendaki. Alhasil, rasio NPL gross bank pelat merah ini naik, dari 2,0% di akhir tahun lalu menjadi 2,8% per September tahun ini. “Peningkatan NPL tersebut terjadi pada industri-industri dan segmen kredit yang sensitif terhadap fluktuasi harga komoditas dan mata uang,” tegas Susanto.
Dengan NPL tinggi, perbankan pun harus menyiapkan provisi lebih besar yang sumbernya berasal dari laba. Masalahnya, bank tidak bisa mendulang keuntungan seperti yang ditargetkan, jika menggunting bunga kredit terlalu besar. Soalnya, net interest margin (NIM) bank pun akan terpangkas.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) terbaru BI, NIM bank umum tumbuh dari 4,21% menjadi 5,32% dalam setahun. Bank yang masuk kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) IV mencatat NIM tertinggi, sebesar 6,28%, disusul bank BUKU I 5,67%. Sementara NIM bank BUKU II dan III masing-masing sebesar 4,59% dan 4,46%.
Meski begitu, menurut Irwan, selain risiko kredit, ada kemungkinan bank ogah menyalurkan kredit gara-gara bisa mendulang untung hanya dengan menaruh uangnya di instrumen seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Maklum, BI rate masih di posisi 7,5%. Tambah lagi, sejak 1998, ada kebijakan menolong perbankan memakai kebijakan bunga tinggi. Bank bisa hidup hanya dengan membiakkan uang dari selisih bunga tanpa perlu menyalurkan kredit. “Saya takutnya, jadi kebiasaan dan sudah keasyikan,” ujar Irwan.
Namun, Jahja membantah pernyataan Irwan itu. Dia menegaskan, bank tetap menyalurkan kredit, cuma terkendala permintaan yang melambat lantaran situasi ekonomi sedang sulit. “Saat ini bank tak lepas kredit karena permintaannya lemah dan tingkat risiko semakin tinggi,” kilah Jahja.
Jadi, masih menunggu BI rate turun dulu, baru mau menggelontorkan bunga kredit, nih?
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 05-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News