Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bank Muamalat Indonesia Tbk terus mencari siasat guna memperbaiki kondisi perseroan. Sayangnya Muamalat tak bisa cepat-cepat kembali sehat.
Sebab saat ini perseroan masih harus merampungkan proses masuknya tiga investor baru: Al Falah Investments Pte Limited, Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) Jasa, dan Lynx Asia. Ketiganya akan menjadi investor baru di Muamalat dan telah berkomitmen menjadi pembeli siaga (standby buyer) atas penerbitan 65,22% saham baru (rights issue) senilai Rp 2 triliun.
Jika rampung, Al Falah, yang salah satu pendirinya adalah Komisaris Utama Muamalat Ilham Habibie akan menjadi pemegang saham pengendali perseroan dengan kepemilikan 50,3% saham. Al Falah akan menyuntikkan dana Rp 1,7 triliun, kemudian Kospin Jasa Rp 250 miliar, dan Lynx Asia Rp 50 miliar. Pun dana tersebut sudah disetor oleh ketiganya di rekening penampung guna menunjukkan keseriusannya.
Komisaris Independen Muamalat Iggi H. Achsien bilang bahwa perseroan belum menentukan strategi apa yang akan dilakukan untuk menghimpun dana Rp 2 triliun di luar rights issue.
“Kalau mekanismenya dengan rights issue lagi rasanya akan repot, sehingga sulit terlaksana tahun ini. Tapi tidak menutup kemungkinan juga bisa terlaksana tahun ini karena format penyertaan modal bisa bermacam-macam, bisa masuk setoran uang muka terlebih dahulu. Kalau lihat regulasinya bisa masuk ke tier 2 (modal pelengkap). Kalau masuk tier 2, memungkinkan bisa terlaksana tahun ini,” papar Iggi usai RUPST di Muamalat Tower, Jakarta, Jumat (17/5).
Iggi juga menambahkan, saat ini perseroan tengah fokus menunggu pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap aksi rights issue yang targetnya diberikan pertengahan Juni mendatang. Sebab keputusan mencari dana tambahan Rp 2 triliun tersebut mesti pula diputuskan oleh Al Falah sebagai pemegang saham pengendali kelak.
Meski demikian, Iggi beberapa strategi juga tengah disiapkan perseroan untuk bertumbuh secara organik. Bank syariah pertama di tanah air ini misalnya berencana untuk menerbitkan sekuritisasi aset syariah dengan menggandeng PT Sarana Multigriya Finansial (persero).
SMF tercatat telah beberapa kali memberikan fasilitas pembiayaan ke perseroan, terakhir SMF memberikan pembiayaan senilai Rp 800 miliar pada akhir Desember 2017 dalam beberapa tahap. Sedangkan hingga akhir 2017 tercatat total pembiayaan SMF kepada Muamalat sebesar Rp 2,18 triliun. Atas pembiayaan tersebut, Muamalat memberikan jaminan berupa portofolio kredit pemilikan rumah (KPR) senilai Rp 2,20 triliun.
“Dengan SMF harapannya memang ada terobosan baru untuk menerbitkan sekuritisasi syariah pertama di Indonesia. Dan yang memiliki portofolio syariah adalah Bank Muamalat,” tambah Iggi.
Selain soal ekspansi organik, Direktur Utama Muamalat Achmad Kusna Permana bilang perseroan juga akan memperbaiki portofolio pembiayaannya. Caranya dengan membersihkan pembiayaan bermasalah alias non performing financing (NPF). Ada dua cara yang disebutkan Permana, pertama melakukan penjualan pembiayaan bermasalah, dan kedua melalui cara penagihan (collection).
Sekadar informasi, sejak tahun lalu perseroan memang berniat melakukan penjualan NPF senilai Rp 6 triliun kepada Dubai Trust dengan skema asset swap. Sayangnya Otoritas hingga saat ini belum merestui rencana ini. Apalagi, beberapa pemegang saham minoritas Muamalat juga sempat menolaknya lantaran dinilai akan merugikan perseroan.
“Tadi dalam RUPST juga dijelaskan kembali soal asset swap. Dan Alhamdulillah pemegang saham minoritas sudah menerimanya, bahkan mengapresiasi langkah tersebut untuk menambah permodalan perseroan,” kata Permana dalam kesempatan yang sama.
Sementara strategi penagihan aset bermasalah dijelaskan Permana bahwa perseroan telah menyusun sistem manajemen resiko guna mengoptimalkan pengembalian aset perseroan.
Dalam RUPST juga diangkat Avianto Istihardjo yang sebelumnya menjabat Chief Risk Officer sebagai Direktur Risiko Bank Muamalat untuk mengomandoi kegiatan penagihan perseroan.
“Dengan diangkatnya pak Avianto, manajemen risk kami sudah siap, baik dari appetite, maupun risk process, dan teknologinya. Pak Avianto ini setahun kemarin memang fokus membereskan sisi manajemen resiko, tahun lalu pun kami berhasil melakukan penagihan hingga Rp 2,3 triliun,” tambah Permana.
Dalam kesempatan yang sama, Komisaris Utama Muamalat Ilham Habibie yang juga merupakan pimpinan Al Falah bilang setelah proses masuknya Al Falah rampung, perseroan juga akan sedikit mengubah strategi bisnisnya.
“Berdasar kinerja perseroan meskipun dalam kondisi seperti ini, segmen ritel kami tetap tumbuh. Makanya ke depan kami akan lebih fokus ke segmen ini. Kalau sekarang porsi pembiayaan perseroan 60% masih ke korporat, dan 40% ke ritel, ke depan akan kita balik 60% ke ritel, dan 40% ke korporat. Bahkan porsi ritel masih bisa meningkat lagi,” kata Ilham dalam kesempatan yang sama.
Hingga akhir 2018 lalu, Muamalat mencatatkan pembiayaan Rp 33,56 triliun, anjlok 18,78% (yoy) dibandingkan 2017 senilai Rp 41,33 triliun. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) pun anjlok 5,56% (yoy) menjadi Rp 45,63 triliun pada akhir 2018, dibandingkan posisi akhir 2017 senilai Rp 48,32 triliun.
Rasio keuangan perseroan juga serupa merosot. Capital Adequacy Ratio (CAR) akhir 2018 berada di level 12,34%, sementara pada 2017 sebesar 13,62%. Kemudian Return of Asset (RoA) sebesar 0,08%, turun 3 bps dibandingkan 2017 sebesar 0,11%. Net Imbalan (NI) juga ikut merosot menjadi 2,22% pada 2018, dibandingkan posisi 2017 sebesar 2,48%.
Meski demikian, return of equity (RoE) Muamalat meningkat 290 bps menjadi 1,16% pada akhir 2018, sementara pada 2017 sebesar 0,87%. Pun NPF gross yang menurun menjadi 3,87% pada akhir 2018, dibandingkan akhir 2017 sebesar 4,43%. Makanya pada 2018 perseroan masih mencatatkan kenaikan laba bersih menjadi Rp 46,00 miliar dibandingkan laba bersih 2017 sebesar Rp 26,11 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News