Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong efisiensi perbankan belum berbuah manis. Sebab, hingga kini tidak ada bank yang berminat mencicip insentif alokasi modal inti.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK Irwan Lubis menyatakan, dari sisi biaya operasional pendapatan operasional bank (BOPO), perbankan masih menggelontorkan belanja modal jumbo untuk pengembangan perbankan digital. “Alokasi belanja modal bank tahun 2017 masih banyak untuk belanja mesin ATM,” ujar Irwan.
Mengutip data OJK per Juli 2016, rasio BOPO seluruh kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) masih di atas syarat insentif OJK. Bank kelas menengah atau BUKU 3 tercatat paling tidak efisien dengan rasio BOPO 87,93%.
Bank besar BUKU 4 justru makin boros dengan rasio BOPO naik 3,57% menjadi 74,03% per Juli.
Dari sisi margin bunga bersih (NIM), bank masih pelit menurunkan suku bunga kredit. Buktinya, rasio NIM perbankan umum masih mendaki 20 basis poin (bps) dari 5,39% menjadi 5,59%.
Lagi-lagi, bank penggerak pasar, yakni BUKU 4, memiliki margin paling besar. Bank kelas kakap masih mencatatkan rasio NIM tertinggi, yakni sebesar 6,48%.
Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Haru Koesmahargyo mengungkapkan, pihaknya lebih memilih untuk mengembangkan perbankan digital untuk ekspansi ke pelosok daerah ketimbang membuka kantor cabang baru.“BRI sudah punya 10.000 kantor di pelosok. Agen BRILink 30.000 orang, kita mau fokus ke pengembangan ini dulu,” kata Haru kepada KONTAN (25/9).
Senada, Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja menyatakan tidak tertarik dengan insentif OJK meski ada rencana membuka kantor cabang di Indonesia Timur pada tahun depan.
Sebagai informasi, OJK memberikan diskon hingga 50% untuk alokasi modal inti bagi bank yang memenuhi persyaratan rasio BOPO dan NIM.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News