Reporter: Nurul Kolbi, Wahyu Satriani | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Mendengar Bank Indonesia (BI) akan menata ulang sistem remunerasi petinggi bank, para bankir pun melontarkan kritik. Mereka ramai-ramai menyimpulkan rencana bank sentral tersebut merupakan bentuk intervensi berlebihan atas industri perbankan.
Alasan mereka nyaris sama: penetapan gaji, bonus ataupun fasilitas lain, menjadi urusan pengurus bank dan pemilik atau pemegang saham.
Daniel Budirahaju, Direktur Kredit Bank Mega, berpendapat, bank sentral tak perlu mengatur remunerasi bankir, karena soal ini masuk wilayah internal perusahaan. Apalagi, beberapa bank merupakan perusahaan terbuka dan besaran bonus sudah ditentukan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS). "Mekanisme jelas, kenapa BI harus intervensi?" kata Daniel kepada KONTAN, Selasa (29/3).
Daniel menuturkan, di bank tempatnya berkarier, besaran remunerasi berdasarkan kinerja perusahaan. Rumusnya sederhana: semakin membaik kinerja, semakin banyak bonus direksi. Cara mengukur kinerja adalah membandingkan target dengan pencapaian. Jika mampu merealisasikan target itu, bonus mengalir dengan sewajarnya.
Hal yang sama juga terjadi di OCBC NISP. Parwati Surjaudjaja, Presiden Direktur di bank hasil merger dengan OCBC Indonesia itu mengatakan, pemberian gaji dan bonus benar-benar berdasarkan kinerja. Metodenya sama dengan praktik di bank lain, yang nilai asetnya tak jauh berbeda. "Sistem remunerasi kami tidak banyak perubahan setelah dan sebelum dimiliki OCBC, in line dengan industri," kata Parwati kepada KONTAN, Selasa (29/3).
Parwati sebenarnya bisa memahami keinginan BI mengatur remunerasi dengan memperhitungkan risiko kerugian di masa mendatang. Praktik serupa juga berlaku di Amerika Serikat dan Inggris, sebagai pembelajaran dari krisis keuangan tahun 2008.
Tapi, menurut dia, yang perlu digarisbawahi, besaran gaji dan bonus direktur bank di kedua negara tersebut sebelum krisis, sudah terlampau tinggi. Jauh berbeda dengan perbankan di Indonesia. "Jadi, ketika mereka menurunkan batasan bonus, terlihat wajar. Sementara bonus perbankan kita sudah rendah sejak awal," kata Parwati.
SDM terbatas
Sebelum krisis, rentang antara gaji dan bonus direksi bank di AS dan Inggris bisa mencapai 80% dari total gaji setahun. Regulator kemudian menurunkan batas tersebut menjadi 50%. Artinya, bonus bankir tidak boleh melebihi persentase itu.
Sementara di Indonesia, rentang antara gaji dan bonus rata-rata sebesar 30%. "Secara ide mungkin baik. Tapi belum tentu efektif, karena bonus bankir kita masih rendah," tegas Parwati lagi.
Sementara Gatot M. Suwondo, Direktur Utama Bank BNI, menyerahkan urusan remunerasi kepada pemerintah selaku pemegang saham. "Tanya sama pemilik banknya saja," ujarnya.
Parikesit Suprapto, Deputi Menteri BUMN Bidang Perbankan dan Jasa Keuangan, mengatakan, gaji bankir bank BUMN telah diatur dalam Peraturan Menteri BUMN. Beleid itu menyebutkan remunerasi diberikan berdasarkan kinerja dengan mengacu bank swasta. "Kami menilai kinerja bukan cuma dari laba, juga dari jumlah aktiva," ujarnya.
Seorang bankir bank asing mempunyai argumentasi menarik tentang penyebab tingginya gaji dan bonus bankir di negeri ini. Menurut mantan petinggi salah satu bank swasta nasional itu, kondisi tersebut lantaran jumlah sumber daya manusia (SDM) untuk mengisi posisi puncak (top management) sangat terbatas. Kecenderungan ini juga berlaku di jabatan level menengah atau sekelas manajer.
Lantaran permintaan lebih besar, bankir mempunyai posisi kuat dalam menentukan remunerasi, termasuk gaji, bonus dan fasilitas lain. Hal inilah yang membuat remunerasi di industri ini terus menanjak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News