Reporter: Ferrika Sari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membantah menjadi pengawas eksternal bagi PT Asabri (Persero) sehingga tidak berwenang memberikan rekomendasi perbaikan kinerja perusahaan dengan merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 Tahun 2015 Tentang Asabri.
Namun pernyataan tersebut dibantah oleh Direktur Utama Asabri Sonny Widjaja. Ia mengaku, melalui uji kelayakan dan kepatuhan (fit and proper test) di OJK, serta Asabri rutin membayar iuran sebesar Rp 400 juta per tahun.
“Kami setiap bulan rekonsiliasi untuk mencocokkan (data kinerja keuangan). Kalau di media OJK mengatakan tidak (mengawasi Asabri), tetapi kami sesungguhkan diawasi oleh OJK,” kata Sonny, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/1).
Baca Juga: Inilah Saham yang Menyebabkan Penurunan Nilai Investasi Asabri
Hal senada juga diungkapkan Head of Legal Compliance & Risk Management Division Asabri Bisler Simbolon. Ia menegaskan bahwa setiap tahun Asabri melaporkan profil risiko dan maturitas risiko perusahaan ke OJK.
Namun hingga saat ini regulator belum berkunjung ke Asabri untuk melakukan pengawasan. “Kalau pengawasan secara langsung, kami belum menemukan kunjungan,” ungkapnya.
Memang dalam PP Nomor 102 Tahun 2015, menyebutkan OJK bukanlah pengawas eksternal Asabri. Justru pengawas eksternal Asabri adalah Inspektorat Jenderal Kementerian Pertahanan, Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri, dan Inspektorat Jenderal TNI.
Meski demikian, dalam Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK disebutkan bahwa regulator melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan secara menyeluruh mulai dari perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lainnya.
Baca Juga: Aset Asabri anjlok Rp 16,8 triliun di tahun lalu gara-gara masalah investasi
“Hubungan dengan OJK, semua adalah pengawas asuransi jika secara UU. Artinya, jika pengawasan tidak diatur dalam PP, tetapi mereka punya kewenangan pengawasan berdasarkan UU,” ungkapnya.
Ketidaksinkronan aturan tersebut membuka celah pihak tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan dana secara mudah dengan memanfaatkan wilayah abu-abu (grey area) dalam pengawasan di sektor jasa keuangan.
“Artinya jangan semua aturan berdiri sendiri dan tidak menjadi satu kesatuan sehingga akan kesulitan serta menjadi celah yang dimanfaatkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab, seperti kasus Asabri ini,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR Eriko Sotarduga.
Padahal selama ini, pengawasan di industri asuransi sudah dilakukan secara komprehensif. Misalnya saja, dengan keberadaan komisaris, OJK dan auditor untuk mengawasi kinerja perusahaan.
Baca Juga: Wow, utang Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat ke Asabri capai Rp 10,6 triliun
Dengan demikian, pengawasan secara komprehensif tetap membuka celah dan tidak menjamin keamanan 100%. Untuk mengantisipasi hal serupa, UU OJK masuk prolegnas 2020 untuk direvisi.
“Aturan ini harus dilakukan perubahan supaya jangan ada lagi namanya grey area. Tentunya dengan lingkup aturan yang jelas dan tidak membuka celah orang berniat buruk,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News