Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja bank digital hingga memasuki semester kedua 2023 sudah menunjukkan kenaikan. Merujuk pada laporan bulanan, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dan penyaluran kredit per Juli tumbuh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Pertumbuhan yang impresif fungsi intermediasi mencerminkan bahwa penerimaan publik terhadap bank digital semakin membaik. Kendati demikian, tantangan yang dihadapi masing-masing bank tak sama. Itu bisa dilihat dari capaian bottom line.
Ada beberapa bank digital yang membukukan rugi bersih ratusan miliar kendati jumlah kredit yang disalurkan relatif lebih tinggi dari kompetitor. Sebaliknya, ada bank yang kreditnya masih tertinggal jauh dari pemimpin klasemen tetapi laba bersihnya justru tercatat paling tinggi.
Dari aspek kredit, DPK, dan aset, Seabank Indonesia tercatat jadi jawara. Bank afiliasi e-commerce Shopee ini membukukan kredit Rp 15,09 triliun per Juli 2023, DPK Rp 25,9 triliun, dan aset Rp 32,7 triliun. Pesaing terdekatnya ada Bank Neo Commerce (BNC) dengan jumlah kredit Rp 10,1 triliun, DPK senilai Rp 15,2 triliun dan aset mencapai Rp 19 triliun.
Namun, dari sisi bottom line, keduanya malah kalah dari bank digital lain. BNC tercatat paling boncos. Bank berkode saham BBYB ini membukukan rugi bersih Rp 326 miliar.
Kerugian disebabkan karena penurunan nilai aset keuangan atau impairment loss senilai Rp1,18 triliun. Padahal, pendapatan bunga bersihnya mencapai Rp 1,37% triliun. Itu artinya, lebih dari 80% pendapatan bunga bersih terserap ke pos impairment.
Sementara Seabank sudah meraup laba bersih Rp 132,2 miliar sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini. Hanya saja, capaian bottom line Seabank masih kalah jauh dari Allo Bank Indonesia (BBHI). Bank digital besutan Chairul Tanjung ini meraih laba bersih Rp 255,4 miliar, tertinggi di antara bank digital lainnya.
Meski jadi jawara perolehan laba, kredit Allo Bank per Juli hanya Rp 7,38 triliun, DPK Rp 4,4 triliun dan aset Rp 11,6 triliun. Adapun pendapatan bunga bersih yang dihasilkan mencapai Rp 579 miliar. Separuh net interest income itu dibungkus jadi laba.
Dahsyatnya Allo Bank dalam mencetak laba bersih akan lebih terlihat jika dibandingkan dengan neraca Seabank. Pendapatan bunga bersih Secabank mencapai Rp 3,5 triliun dari outstanding kredit Rp 15,9 triliun. Pencapaian ini bahkan menempatkan Seabank sebagai bank pencetak net interest margin (NIM) tertinggi di industri.
Dengan membukukan pendapatan bunga bersih Rp 3,5 triliun, Seabank seharusnya membukukan laba bersih paling besar. Setelah ditelisik, Seabank ternyata punya masalah yang sama dengan BNC, yakni impairment loss.
Laporan bulanan Seabank menunjukkan terdapat penurunan nilai aset keuangan senilai Rp 2,88 triliun per akhir Juli 2023. Data ini menjelaskan mengapa pendapatan bunga bersih yang mencapai Rp 3,5 triliun hanya tersisa Rp 132,2 miliar sebagai laba bersih.
Bank digital lain yang masih merugi adalah Bank Aladin Syariah dan Superbank. Kedua bank ini mencatatkan rugi bersih Rp 113,4 miliar dan Rp 138,5 miliar pada akhir Juli dengan penyaluran kredit masing masing Rp 4,95 triliun dan Rp 4,1 triliun.
Aladin selama ini identik dengan jaringan Alfamart, sementara Superbank adalah bank hasil transformasi dari Bank Fama yang di back up penuh oleh Grab. Kedua bank ini juga tengah berupaya keras memperluas partnership lending, selain fokus melayani ekosistem sendiri. Terakhir, Superbank menggandeng kerjasama pembiayaan dengan Amartha dan Home Credit.
Sementara Bank Jago terlihat tumbuh paling stabil. Pionir bank digital di tanah air ini mencatatkan aset Rp 19,1 triliun, kredit Rp 10,8 triliun dan DPK senilai Rp 10,4 triliun. Laba bersihnya sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini mencapai Rp 43,2 miliar, tumbuh 31,7% dari periode yang sama tahun lalu yang baru mencapai Rp 32,8 miliar.
Perolehan laba bersih Bank Jago tercapai berkat komposisi dana murah atau CASA yang mencapai 73,5%, paling tinggi dibandingkan kompetitor. Faktor pendorong lainnya adalah kehati hatian dalam menyalurkan kredit, tercermin pada rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) gross sebesar 1,3%.
Mencermati kinerja selama tujuh bulan terakhir, Direktur Segara Institute Piter Abdullah menjelaskan, bank digital masih mencari bentuk bisnis model yang ideal agar bisa tumbuh eksponensial tapi dengan fundamental yang sehat. “Bank digital beroperasi secara minimalis dengan mengandalkan teknologi. Jaringan kantor cabang dan jumlah SDM nya sangat sedikit. Maka itu, dengan segala keterbatasannya, mereka harus mampu tumbuh cepat tapi tidak melupakan sisi kehatihatian,” kata dia, Rabu (6/9).
Menurut Piter, sejauh ini bisnis model kemitraan dan kolaborasi dengan ekosistem digital, masih menjadi pilihan terbaik. Pola partnership mampu menggantikan keterbatasan SDM dan jaringan cabang. “Tantangannya itu memilih partner yang tepat untuk meminimalisir risiko NPL. Pada konteks ini, bank digital yang menjadi bagian integral dari suatu ekosistem, memiliki kans lebih besar untuk mencapai kesuksesan,” katanya.
Tantangan lainnya adalah menerapkan manajemen risiko secara disiplin. Piter mengingatkan, bank digital jangan sampai ugal-ugalan mengejar pertumbuhan, tapi babak belur di neraca laba rugi.
“Buat apa kredit tumbuh tinggi, tapi kemudian banyak yang berakhir macet. Pada akhirnya bank digital tetaplah sebuah bank. Selain harus bisa mencetak laba, bank digital juga mesti memiliki neraca keuangan yang sehat dan fundamental yang kuat,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News