Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Implementasi mekanisme penyangga likuiditas dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) berisiko baik buat bank jangkar alias bank peserta, maupun kepada bank pelaksana.
Secara umum, skema ini akan dimulai dari penempatan dana Rp 35 triliun oleh pemerintah pada bank jangkar, dan akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Kemudian bank pelaksana dapat mengajukan permohonan pinjaman likuiditas yang berasal dari dana pemerintah tersebut kepada bank jangkar. Pinjaman tersebut akan dijamin dari portofolio kredit bank pelaksana yang direstrukturisasi akibat pandemi.
Risiko terbesar akan diterima oleh bank pelaksana jika kelak terjadi gagal bayar. Deputi Komisioner Logistik dan Humas OJK Anto Prabowo bilang, bank pelaksana bisa ditetapkan menjadi bank gagal jika mengalami gagal bayar.
Baca Juga: Perlukah tambahan stimulus pasca pandemi? Begini kata bankir dan OJK
“Jika bank pelaksana tidak bisa membayar pinjaman maka rekening giro mereka di Bank Indonesia ibsa didebet langsung untuk kepentingan pemerintah. Karena prinsipnya, dana pemerintah punya hak (penjaminan) prioritas, termasuk misalnya kemudian bank pelaksana ditetapkan sebagai bank gagal yang penanganannya dilakukan LPS,” kata Anto kepada Kontan.co.id, Jumat (15/5).
Adanya risiko besar seperti itu, bikin sejumlah bank belum melirik fasilitas pinjaman likuiditas via bank jangkar. Selain itu, mereka mengaku likuiditas perseroan sejatinya masih cukup longgar.
Direktur Utama PT Bank Mayapada Tbk (MAYA) Hariyono Tjahrijadi menilai ketentuan tersebut cukup berlebihan. Meskipun sejatinya ia mengaku pasrah dengan kebijakan ini.
“Kegagalan pembayaran kredit memang tidak boleh terjadi, namun apakah serta merta bisa ditetapkan menjadi bank gagal tanpa ada penelitian lebih lanjut terkait penyebab gagal bayar?” Katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (17/5).
Hariyono mengaku saat ini Bank Mayapada belum membutuhkan tambahan likuiditas. Loan to deposit ratio (LDR) Bank Mayapada juga masih sangat longgar sebesar 76,64% pada April 2020.
Modal perseroan juga masih cukup tebal, mengingat pemilik perseroan Dato Sri Tahir hingga April sudah menambah modal perseroan Rp 3,75 triliun. Tambahan modal juga akan kembali dilakukan Tahir pada September 2020 senilai Rp 750 miliar.
Direktur PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR) EFdinal Alamsyah juga mengaku saat ini perseroan belum membutuhkan tambahan likuiditas. Apalagi Efdinal bilang perseroan justru aktif menempatkan dana dalam pasar uang antar bank (PUAB).
“Kami tidak memiliki masalah likuiditas saat ini, jika memang bermasalah kelak pemegang saham juga punya komitmen membantu likuiditas. Apalagi tahun ini kami juga akan rights issue Rp 500 miliar,” katanya kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Jadi bank gagal, salah satu risiko bank pelaksana program pemulihan ekonomi
Tak cuma buat bank pelaksana, bank jangkar juga punya risiko atas skema ini, meskipun memang tak sebesar bank pelaksana. kegagalan pembayaran bank pelaksana bakal membuat bank jangkar kehilangan pendapatan, sementara di sisi lain, mereka akan tetap membayar bunga penempatan dana pemerintah.
“Bank peserta menerima penempatan dana, dan membayar (bunga) kepada pemerintah. Penjaminan LPS sifatnya risk sharing dengan bank peserta, ini justru untuk menghindari moral hazard, dimana dana pemerintah asal disalurkan kepada bank pelaksana,” lanjut Anto.
Perihal risiko ini pula yang saat ini masih ditunggu kejelasannya oleh sejumlah calon bank jangkar. Cari penelusuran KONTAN cuma empat bank Himpunan Bank Negara (Himbara), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang memiliki kans terbesar menjadi bank jangkar.
“Kami masih menunggu aturan pelaksanaannya, terutama soal risiko penyaluran likuiditasnya. Jangan sampai bank peserta juga memiliki risiko tambahan, karena saat pandemi seperti ini kami juga masih memiliki tiga restrukturisasi,” kata Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Pahala Mansury, Jumat (15/5).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News