kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

BI: Ada risiko jika bisnis fintech tidak diatur


Selasa, 20 September 2016 / 18:09 WIB
BI: Ada risiko jika bisnis fintech tidak diatur


Reporter: Dikky Setiawan, Roy Franedya | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) berencana merilis aturan industri teknologi keuangan alias financial technology (fintech). Namanya: Peraturan BI (PBI) tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. 

Beleid ini bakal jadi rambu-rambu pebisnis fintech yang bisnis utamanya berupa clearing and settlement.

Enny Panggabean, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, bilang, bank sentral akan menerbitkan PBI itu akhir September 2016.  

“Tujuannya, agar transaksi di bidang sistem pembayaran fintech dilakukan secara aman, efisien, dan handal,” katanya.

PBI Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, Ronald Waas, Deputi Gubernur BI, membeberkan, memuat ketentuan soal channel atau kanal pembayaran, platform pembayaran elektronik (electronic payment), serta penyelenggara jasa sistem pembayaran dan penyelenggara penunjang. 

Potensi risiko

Kalau tidak ada pengaturan layanan pembayaran fintech, menurut Ronald, ada sejumlah risiko yang muncul. Contoh, dari sisi settlement, kemungkinan transaksi gagal settle. 

Lalu dalam hal likuiditas, inovasi teknologi meminimalkan friksi sehingga perpindahan terjadi lebih cepat dan seketika serta mengakibatkan bank run.

Dari segi kredit, bisa terjadi potensi gagal bayar karena dana tidak mencukupi untuk bisa memenuhi kewajiban settlement. Potensi fraud yakni penyelenggara platform tidak meneruskan dana ke peminjam dan lender khusus escrow, termasuk potensi pencucian uang atau money laundering. 

Potensi risiko lainnya adalah perlindungan konsumen yang tidak terjaga dengan baik, terutama soal transparansi serta penanganan gangguan yang efektif dalam melakukan transaksi pembayaran. “Ada juga potensi risiko transaksi dilakukan di luar negeri, tidak secara domestik,” ujar Ronald.

Tak hanya mengatur layanan pembayaran, Ronald menambahkan, BI juga akan membangun FinTech Office. Ini wadah evaluasi, penilaian, dan mitigasi risiko. Fungsinya juga sebagai inisiator riset kegiatan fintech, ajang kolaborasi atau pertukaran ide inovatif antarpelaku industri dengan regulator.

FinTech Office juga akan melakukan kajian ulang, penyelarasan, dan penguatan skema pembiayaan antarlembaga pemerintah yang dialokasikan untuk pengembangan fintech. 

Tugas utama FinTech Office adalah memfasilitasi interaksi dengan para pelaku fintech serta mengumpulkan data dan informasi terkait industri ini. 

“FinTech Office yang akan menjadi focal point dalam berkoordinasi dan bekerjasama dengan lembaga lainnya serta dengan industri,” ucap Ronald. 

Fungsi lain dari FinTech Office: melaksanakan regulatory sandbox yakni laboratorium atau suatu lingkungan aman yang digunakan pelaku bisnis fintech untuk melakukan pengujian terhadap produk atau model bisnis yang inovatif. 

Regulatory sandbox juga merupakan sarana bagi regulator untuk memfasilitasi pengembangan inovasi dan menguji kebijakan yang akan dikeluarkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×