kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

BI: Tiap negara punya kebijakan soal mata uang virtual


Senin, 15 Januari 2018 / 23:15 WIB
BI: Tiap negara punya kebijakan soal mata uang virtual
ILUSTRASI. ilustrasi Cryptocurrency


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengumumkan melarang penjualan, pembelian, maupun perdagangan mata uang virtual jenis apa pun. Sebelum BI, sebelumnya beberapa otoritas di negara lain juga disebut-sebut sudah melarang perdagangan dan transaksi menggunakan mata uang virtual atau cryptocurrency.

Ambil contoh, pemerintah Korea Selatan juga tengah mempersiapkan aturan mengenai pelarangan mata uang virtual. Selain Korsel, China pun telah menerbitkan pelarangan penggunaan mata uang virtual.

Belum lagi, Singapura juga sudah menerbitkan peringatan risiko penggunaan mata uang virtual. Meski begitu, di sejumlah negara pun telah menerima mata uang virtual, bahkan untuk penggunaan ritel.

Di Jepang, misalnya, telah menggunakan mata uang virtual untuk menggaji karyawan. Terbaru, di Kanada, jaringan restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC) juga telah menerima pembayaran dengan mata uang virtual.

Melihat tren ini, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean menyebut, keputusan tiap negara tergantung pada pertimbangan dan kebijakan masing-masing negara. "Tiap negara punya kebijakan yang beda-beda," ujar Eni dalam media briefing di Jakarta, Senin (15/1).

Eni mengungkapkan, kebijakan yang diambil suatu negara, dalam hal ini adalah mata uang virtual, sangat tergantung pada sifat penduduk yang berbeda-beda. Pun ini tergantung pada karakteristik negara masing-masing.

"Kalau kita lihat Jepang boleh, karena pengambil kebijakan melihat kondisi masing-masing, apa ada spekulasi, terorisme dan lainnya," ungkap Eni.

Atas hal itu, kebijakan satu negara dan negara lain mengenai mata uang virtual tidak bisa disamakan. Pasalnya, hal ini menyangkut dengan sifat negara, struktur penduduk, budaya, dan kebiasaan penduduknya.

Adapun, mengenai nantinya apakah mata uang virtual akan diakui di Indonesia, BI menyebut pihaknya masih akan berlandaskan pada ketentuan yang berlaku. Sementara itu, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan sejumlah kementerian dan lembaga guna membahas penggunaan mata uang virtual lebih lanjut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×