Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Khomarul Hidayat
Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah berpandangan, fenomena perbankan di Indonesia memang unik. Sebab, secara historis ketika BI menurunkan suku bunga acuan, bank akan dengan cepat menurunkan suku bunga deposito. Meski begitu, penurunan bunga kredit justru lambat. "Dalam kondisi seperti ini, margin bunga bersih (NIM) cenderung melebar," katanya.
Kondisi ini pernah terjadi di tahun 2016, ketika BI menurunkan bunga acuan secara agresif. Saat bunga deposito turun mengikuti bunga acuan, bunga kredit lebih memakan waktu. Hasilnya, target pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit menjadi single digit pun kandas.
Kejadian serupa terjadi saat ini, bunga acuan BI sudah turun bahkan terendah sepanjang sejarah BI, tetapi suku bunga kredit turun relatif terbatas dan juga tidak merata. "Beberapa bank BUMN memang sudah menurunkan SBDK bahkan hingga single digit, tetapi di bank swasta lainnya masih relatif tinggi," imbuhnya.
Kondisi ini disebabkan dua hal. Pertama, kondisi likuiditas perbankan yang tidak sama, yakni bank kecil punya likuiditas yang lebih ketat. Kedua, permasalahan risiko kredit yang meningkat akibat pandemi. "Kondisi ini menguntungkan bagi bank besar dengan CoF rendah, yang bisa memanfaatkan kondisi dengan melebarkan NIM," kata Piter.
Tapi, apabila penurunan bunga deposito dan SBDK sudah terjadi di bank besar maka mekanisme pasar akan bekerja. Bank-bank lain pun akan turut serta menurunkan bunga kreditnya agar bisa bersaing di tengah permintaan kredit yang terbatas.
Selanjutnya: Hore, bank swasta besar ikut turunkan suku bunga dasar kredit (SBDK) ke single digit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News