Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak awal tahun 2020 sampai dengan Januari 2021, suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate (BI7DRR) sudah turun 125 basis poin (bps). Menurut catatan Bank Indonesia (BI), suku bunga deposito lebih cepat merespons penurunan bunga BU yaitu turun sebesar 189 bps yoy di periode tersebut.
Penurunan bunga deposito membuat beban bunga bank menjadi berkurang. Apalagi, dalam beberapa periode terakhir bank-bank besar sudah sangat agresif mendorong peningkatan rasio dana murah (current account and saving account/CASA).
PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) misalnya menyebut, tingkat rasio CASA sudah bergerak naik hingga ke kisaran 39%-40%. Direktur Distribution and Retail Funding BTN Jasmin bilang, rasio CASA ini sudah sejalan dengan target BTN.
Alhasil, ini membuat tingkat biaya dana atau cost of fund (CoF) dana pihak ketiga (DPK) BTN menjadi sebesar 3,74% per Februari 2021. Turun drastis bila dibandingkan dengan periode setahun sebelumnya sebesar 5,26%. BTN berencana meningkatkan porsi dana murah ke depannya, guna menekan CoF mendekati 3,5%.
"CoF yang turun signifikan karena kami repricing dana-dana mahal di deposito dan Tabungan BTN Prima sehingga bunganya sudah mendekati bunga normal," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (23/3).
Baca Juga: Bank swasta besar sudah turunkan suku bunga dasar kredit (SBDK) ke single digit
Di sisi lain, Jasmin menilai, ruang bagi bank untuk menurunkan biaya dana juga masih terbuka, apalagi dengan tren bunga deposito yang berangsur turun.
Tahun ini, BTN menargetkan rasio CASA sebesar 42%-43%. "LDR (loan to deposit ratio) per Februari 2021 juga sudah 92%, selama puluhan tahun LDR Bank BTN selalu di atas 100%," kata Jasmin.
Sementara, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mencatatkan rasio CASA per Februari 2021 di level 61%. "BRI akan terus mendorong peningkatan CASA dalam struktur pendanaannya," ujar Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto.
Dia mengatakan, ada dua strategi yang dipakai perseroan untuk menggenjot dana murah. Pertama, menjaring dana murah dari perusahaan korporasi dan institusi dengan memperkuat produk cash management dan trade finance.
Kedua, memperkuat dana murah dari ritel yang dikembangkan lewat layanan pembayaran dan transaksi seperti BRImo (mobile banking) dan aplikasi berbasis digital. Upaya tersebut sebenarnya sudah dilakukan BRI sejak tahun lalu, hasilnya pun terbukti di tahun 2020 BRI mampu menekan biaya dana hingga 36 basis poin.
PT Bank CIMB Niaga Tbk dalam beberapa tahun terakhir juga mendorong dana murah. Antara lain dengan melego dana mahal berbunga tinggi untuk menekan biaya dana. Hasilnya, per Februari 2021 rasio CASA CIMB Niaga sudah hampir di level 64%.
"Kami tetap akan berfokus di CASA sebagai sumber likuiditas dan dana murah," ujar Direktur Konsumer CIMB Niaga Lani Darmawan.
CIMB Niaga menargetkan rasio CASA sebesar 65% di tahun ini. Namun, Lani melihat, rasio CASA 63%-64% sebetulnya sudah sangat ideal. "Penyumbang terbesar ada di tabungan yang naik, namun pertumbuhan giro lebih tinggi sejalan dengan kegiatan operating account perusahaan yang semakin tinggi," imbuh Lani.
Merujuk Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) yang dirilis BI, per Januari 2021 rasio CASA perbankan telah menyentuh 58%. Rasio CASA ini yang kedua yang tertinggi dalam catatan BI. Hanya sedikit lebih rendah dari periode Desember 2020 sebesar 58,25%.
Hal ini menandakan, biaya dana bank sudah hampir dipastikan sudah terus melandai. Apalagi ditambah dengan laju bunga deposito yang terus turun.
Namun, ini menyisakan satu pekerjaan rumah bagi bank, yaitu penurunan bunga kredit. Pasalnya, spread suku bunga dasar kredit atau SBDK terhadap BI7DRR malah melebar dari 5,82% pada Januari 2020 menjadi 6,28% di Januari 2021 atau naik 46 bps. Begitu pula spread antara SBDK dengan suku bunga deposito 1 bulan meningkat dari 4,86% menjadi 5,97% atau naik 111 bps.
Kabar baiknya, BI memperkirakan tren SBDK bank akan menurun di setiap bank. Termasuk di Bank BUMN yang semula menjadi kelompok bank dengan tingkat SBDK paling tinggi. Hal itu bahkan sudah dibuktikan oleh Bank BUMN yang secara kompak memangkas tingkat SBDK di akhir Februari 2021 secara signifikan.
Meski begitu, penurunan itu belum sepenuhnya terjadi secara industri. Di beberapa bank, tingkat bunga kredit masih tinggi meskipun bunga deposito dan biaya dana sudah melandai. Padahal, kemampuan meminjam debitur saat ini tengah menurun di tengah terpaan badai pandemi Covid-19 yang menyerang sejak tahun lalu.
Kendati demikian, marjin keuntungan bank tetap akan meningkat di tengah periode pelamahan ekonomi akibat pandemi. Catatan BI menunjukkan, margin keutungan perbankan meningkat sebesar 34 bps secara tahunan sejak Januari 2020 hingga Januari 2021, yang juga mencakup periode pelemahan ekonomi.
"Hal ini didorong oleh upaya bank untuk tetap mempertahankan profitabilitas di tengah menurunnya penyaluran kredit," tulis BI dalam asssmen transmisi suku bunga kebijakan terhadap SBDK.
Baca Juga: Bank BUMN Kompak Turunkan SDBK, Kini Suku Bunga KPR Semakin Terjangkau
Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah berpandangan, fenomena perbankan di Indonesia memang unik. Sebab, secara historis ketika BI menurunkan suku bunga acuan, bank akan dengan cepat menurunkan suku bunga deposito. Meski begitu, penurunan bunga kredit justru lambat. "Dalam kondisi seperti ini, margin bunga bersih (NIM) cenderung melebar," katanya.
Kondisi ini pernah terjadi di tahun 2016, ketika BI menurunkan bunga acuan secara agresif. Saat bunga deposito turun mengikuti bunga acuan, bunga kredit lebih memakan waktu. Hasilnya, target pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit menjadi single digit pun kandas.
Kejadian serupa terjadi saat ini, bunga acuan BI sudah turun bahkan terendah sepanjang sejarah BI, tetapi suku bunga kredit turun relatif terbatas dan juga tidak merata. "Beberapa bank BUMN memang sudah menurunkan SBDK bahkan hingga single digit, tetapi di bank swasta lainnya masih relatif tinggi," imbuhnya.
Kondisi ini disebabkan dua hal. Pertama, kondisi likuiditas perbankan yang tidak sama, yakni bank kecil punya likuiditas yang lebih ketat. Kedua, permasalahan risiko kredit yang meningkat akibat pandemi. "Kondisi ini menguntungkan bagi bank besar dengan CoF rendah, yang bisa memanfaatkan kondisi dengan melebarkan NIM," kata Piter.
Tapi, apabila penurunan bunga deposito dan SBDK sudah terjadi di bank besar maka mekanisme pasar akan bekerja. Bank-bank lain pun akan turut serta menurunkan bunga kreditnya agar bisa bersaing di tengah permintaan kredit yang terbatas.
Selanjutnya: Hore, bank swasta besar ikut turunkan suku bunga dasar kredit (SBDK) ke single digit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News