Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) kembali melonggarkan kebijakan makro prudensial melalui penyesuaian kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM). Penyesuaian ketentuan tersebut dilakukan dengan mengikutsertakan surat-surat berharga (SSB) yang diterbitkan bank ke dalam perhitungan Loan to Deposit Ratio (LDR) kebijakan GWM-LDR, sehingga formula LDR menjadi : Kredit / (DPK + Surat Berharga Yang diterbitkan Bank).
Sejalan dengan masuknya SSB yang diterbitkan bank dalam perhitungan LDR maka istilah LDR diganti menjadi Loan to Funding Ratio (LFR). Bank Indonesia juga memperlonggar batas atas LFR hingga menjadi 94% bagi bank yang sudah memenuhi pencapaian tertentu Kredit UMKM dengan kualitas kredit yang baik. Pelonggaran batas atas menjadi 94% akan berlaku mulai 1 Agustus 2015 ini, dan dapat diberikan selama bank memenuhi beberapa kriteria.
Meski begitu, tidak semua bank akan memanfaatkan pelonggaran batas atas menjadi 94%. Bank Internasional Indonesia (BII) salah satu contohnya.
Direktur Keuangan BII, Thilagavathy Nadason mengungkapkan, pihaknya tidak akan memanfaatkan insentif LFR menjadi 94% lantaran pertumbuhan kredit hingga akhir tahun 2015 yang masih akan mengalami perlambatan.
Menurut Thila, BII akan menjaga posisi LFR di level 85%-90% sampai dengan akhir tahun mendatang. Dengan pelonggaran kebijakan makro prudensial melalui penyesuaian kebijakan GWM ini, maka hitungan LFR BII pada semester II-2015 berada pada level 80%-85%. Angka ini lebih rendah ketimbang LDR BII pada kuartal I-2015 di posisi 92,7%.
"Room untuk kredit masih besar, tapi kondisi saat ini belum memungkinkan. Jadi tidak ada banyak kredit yang bisa diberikan atau disalurkan meski kami memiliki likuiditas yang cukup," jelas Thila di Jakarta, Jumat (3/7).
Dengan level LFR yang sangat sehat ini, maka BII tidak berencana untuk menerbitkan surat utang atau obligasi pada kuartal III-2015. BII akan memikirkan rencana penerbitan surat utang pada kuartal IV-2015, dengan mempertimbangkan kondisi pertumbuhan ekonomi dan juga pertumbuhan kredit di kuartal III-2015.
"Kami tidak akan terbitkan obligasi pada kuartal III-2015 tapi untuk terbit pada akhir tahun belum tahu, karena kami masih ada ruang untuk penerbitan PUB," ucapnya.
Thila juga menyebutkan, posisi rasio kredit bermasalah atawa non performing loan (NPL) BII masih jauh di bawah ketentuan 5% baik untuk kredit secara keseluruhan maupun NPL UMKM. Porsi penyaluran kredit UMKM di BII sudah mencapai 17%-18%. Perseroan tidak terburu-buru untuk meningkatkan porsi kredit UMKM menjadi 20% karena menurut aturan, hal tersebut wajib dipenuhi pada tahun 2018 mendatang.
"Fokus kredit kami sejak dulu adalah SME / UKM dan sekarang masuk mikro. Sehingga UMKM tetap menjadi fokus dan menjadi engine bagi pertumbuhan kredit BII di semester I-2015," jelas Thila.
Catatan saja, pelanggaran batas atas GWM ini diberikan kepada bank yang dapat memenuhi rasio kredit UMKM lebih cepat dari target waktu tahapan pencapaian Rasio Kredit UMKM, yang telah ditetapkan dalam PBI No. 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis Dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Selain itu, terdapat ketentuan dari segi Non Performing Loan (NPL), yaitu bahwa rasio NPL total kredit bank secara bruto (gross) < 5% dan rasio NPL kredit UMKM bank secara bruto (gross) < 5%. Sementara bagi bank yang belum memenuhi pencapaian tertentu kredit UMKM dimaksud, akan dikenakan penyesuaian jasa giro.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News