Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan menembus rekor tertinggi sejak lima tahun terakhir.
Kementerian Keuangan mencatat, hingga akhir Agustus 2025 dana pemda yang mengendap di perbankan mencapai Rp 233,11 triliun. Jumlah ini meningkat Rp 40,54 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun lalu yang sebesar Rp 192,57 triliun dan menjadi yang terbesar sejak 2021.
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan, menilai keterlambatan belanja daerah yang terjadi di sejumlah wilayah dipicu oleh beberapa faktor mendasar.
“Secara umum, terlambatnya belanja daerah ini karena beberapa hal. Pertama, terlambatnya penetapan perda APBD di daerah, sehingga berimbas pada mundurnya eksekusi anggaran,” ujarnya kepada KONTAN, Jumat (26/9/2025).
Baca Juga: Dana Pemda Ratusan Triliun Mengendap di Bank, Belanja Daerah Masih Seret
Selain itu, kata Trioksa, faktor lain yang turut mempengaruhi adalah terjadinya gagal lelang. “Jika terjadi gagal lelang, pemerintah daerah harus melakukan lelang ulang. Kondisi ini tentu berdampak pada lambatnya serapan anggaran,” jelasnya.
Ia menambahkan, belum siapnya kegiatan atau persiapan teknis di daerah juga kerap menjadi hambatan. “Eksekusi anggaran bisa terlambat karena kegiatan di lapangan memang belum siap. Hal ini membuat serapan anggaran berjalan lebih lambat,” kata Trioksa.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa penumpukan dana pemerintah daerah (Pemda) di perbankan juga berimplikasi pada kinerja penyaluran kredit produktif.
“Dengan terlambatnya belanja daerah, maka penyaluran kredit perbankan, khususnya untuk sektor konstruksi maupun pembiayaan daerah lainnya, ikut tertunda,” ungkapnya.
Menurut Trioksa, kondisi ini perlu diantisipasi pemerintah daerah karena belanja yang lebih cepat akan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Terkait tren ke depan, Trioksa menegaskan perlunya solusi bersama dari pihak eksekutif maupun legislatif di daerah. “Kendala-kendala tersebut harus diantisipasi agar serapan belanja lebih optimal. Ini menjadi pekerjaan rumah baik bagi pemerintah daerah maupun legislatif,” ujarnya.
Meski demikian, ia optimistis ke depan penyerapan belanja dapat lebih cepat. “Dengan adanya dorongan dari pemerintah pusat untuk mempercepat belanja daerah demi mendukung daya beli dan ekonomi masyarakat, harapannya prosesnya bisa jauh lebih cepat,” jelas Trioksa.
Kenaikan dana pemda juga cukup berdampak pada kemampuan PT BPD DIY menyalurkan kredit ke sektor riil. Ini terlihat dari posisi loan to deposit ratio (LDR) Agustus 2025 sebesar 79,52% yang naik dibandingkan Agustus 2024 sebesar 73,6% naik sebesar 5,91%, dan posisi penyaluran kredit Agustus 2025 tumbuh sebesar 7,43% yoy.
Direktur Pemasaran dan Usaha Syariah BPD DIY, Raden Agus Trimurjanto mengatakan, dana Pemda di Bank BPD DIY saat ini meningkat sebesar Rp 95 miliar atau naik sebesar 4,75% yoy) dibanding posisi Agustus 2024.
Baca Juga: Belanja Daerah Melambat, Kontraksi 14,1% yoy Agustus, Pemda Tumpuk Dana di Perbankan
Adapun porsi dana Pemda Agustus 2025 dalam DPK tercatat sebesar Rp 2,1 triliun dan berkontribusi sebesar 14,45% dibanding total DPK.
"Dengan meningkatnya penyerapan anggaran pemda setiap tahun berdampak pada SILPA/sisa anggaran semakin kecil, dengan demikian saldo dana Pemda yang ada di Bank BPD DIY posisi akhir tahun semakin berkurang," kata Agus.
Hal ini disebut selaras dengan tujuan pemerintah terhadap optimalisasi penyerapan anggaran. Sebagai strategi, Bank BPD DIY meningkatkan komposisi DPK dari sektor retail/perorangan. Hal ini, untuk tetap menjaga pertumbuhan DPK tetap positif dan menjaga CASA pada posisi rata-rata 78%.
Di sisi lain, Direktur Bisnis PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (Bank Banten) Bambang Widyatmoko mengatakan, dana Pemerintah Daerah yang tersimpan di Bank Banten tidak disalurkan dalam bentuk kredit, melainkan ditempatkan pada instrumen aset likuid berupa Surat Berharga Negara (SBN).
Kebijakan ini disebut sesuai Perjanjian Kerja Sama (PKS) pengelolaan Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), sehingga penempatan dana tetap aman, likuid, serta mendukung pengelolaan kas daerah secara akuntabel.
"Proses penyaluran anggaran Pemerintah Daerah sepenuhnya bergantung pada pencairan melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Dalam hal ini, Bank berperan sebagai pengelola kas daerah yang menampung dan mengadministrasikan dana milik Pemda," kata Bambang.
Menurutnya, apabila perangkat daerah belum merealisasikan belanja, maka dana tersebut akan tetap berada di RKUD hingga adanya instruksi pencairan.
Per tanggal 23 September 2025, posisi dana Pemerintah Daerah yang tersimpan pada Bank tercatat sebesar Rp1,74 triliun. Adapun kontribusi dana Pemerintah Daerah terhadap Dana Pihak Ketiga Bank per 23 September 2025 tercatat sebesar 27,07% dari total DPK sebesar Rp6,44 triliun.
"Kami melihat, pola penyerapan anggaran Pemerintah Daerah selalu menunjukkan tren yang sama dari tahun ke tahun. Pada semester I, realisasi belanja biasanya masih rendah sehingga saldo dana Pemda di RKUD relatif tinggi. Namun, memasuki semester II, terutama triwulan IV, penyerapan anggaran meningkat signifikan seiring dengan selesainya proses pengadaan, dan pelaksanaan kegiatan," jelasnya.
Selanjutnya: Kaesang Bakal Umumkan Nama Calon Waketum Minggu Depan
Menarik Dibaca: Hujan Lebat Turun di Provinsi Ini, Simak Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (27/9)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News