Reporter: Ferry Saputra | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gugatan yang dilayangkan pemberi dana atau lender terhadap fintech peer to peer (P2P) lending PT Investree Radhika Jaya (Investree) terus bermunculan seusai platform tersebut dicabut izin usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 21 Oktober 2024.
Dalam SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), tercatat ada 3 gugatan baru yang dilayangkan lender seusai Investree dicabut izin usaha. Adapun gugatan pertama dilayangkan 22 lender pada 28 Oktober 2024 dengan nomor perkara 1123/Pdt.G/2024/PN JKT.SEL berstatus Perbuatan Melawan Hukum. Tercantum nilai sengketa sebesar Rp 2,58 miliar.
Gugatan kedua dilayangkan 1 lender pada 30 Oktober 2024 dengan nomor perkara 1131/Pdt.G/2024/PN JKT.SEL berstatus wanprestasi. Tercantum nilai sengketa sebesar Rp 249,43 juta.
Baca Juga: Fintech 360Kredi Sebut 50% Lebih Borrower Merupakan Usia Muda
Sementara itu, gugatan ketiga dilayangkan 26 lender pada 4 November 2024 dengan nomor perkara 1146/Pdt.G/2024/PN JKT.SEL berstatus Perbuatan Melawan Hukum.
Mengenai gugatan yang dilayangkan dengan perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH), Kuasa Hukum Lender Investree Grace Sihotang menjelaskan memang sebenarnya yang cocok digunakan adalah gugatan PMH karena Investree sudah dicabut izin usaha dan masuk proses likuidasi.
Dia bilang di dalam perjanjian antara lender dengan Investree, ada ketentuan bahwa perjanjian dianggap berakhir apabila terjadi proses penutupan perusahaan atau likuidasi.
"Jadi, karena perjanjian itu berakhir, maka cocoknya menggunakan gugatan PMH," ucapnya kepada Kontan, Rabu (13/11).
Grace menambahkan gugatan PMH itu tak mensyaratkan adanya perjanjian. Selain itu, dia bilang lender melayangkan gugatan PMH karena untuk berjaga-jaga atau antisipasi kalau misalnya nanti proses likuidasinya berjalan.
Baca Juga: OJK: Fintech Lending Harus Jelas Menyampaikan Informasi Dalam Iklan
Grace juga menyampaikan kepada para lender kalau gugatan PMH itu, nantinya hanya mendapat ganti rugi saja. Hal itu menjadi risiko dari adanya proses likuidasi.
"Bisa jadi dapat duitnya enggak full. Jadi, hanya ganti rugi yang ditetapkan oleh hakim. Itu risikonya dari likuidasi karena dalam perjanjiannya itu dibilang berakhir karena ada proses likuidasi," kata Grace.
Sebagai informasi, Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Ismail Riyadi menerangkan pencabutan izin usaha Investree terutama karena melanggar ekuitas minimum dan ketentuan lainnya sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech lending, serta kinerja yang memburuk yang mengganggu operasional dan pelayanan kepada masyarakat.
Baca Juga: Aftech: Industri Fintech Perlu Meningkatkan Tata Kelola
Dia bilang pencabutan izin usaha tersebut juga merupakan bagian dari upaya OJK untuk mewujudkan industri jasa keuangan yang sehat, khususnya penyelenggara LPBBTI yang berintegritas, memiliki tata kelola yang baik dan menerapkan manajemen risiko yang memadai dalam rangka perlindungan nasabah/masyarakat.
Sementara itu, salah satu lender Investree Dessy Andiwijaya menyampaikan tindakan OJK terbilang sudah tepat dengan mencabut izin usaha Investree. Adapun Dessy menaruh dananya di Investree senilai Rp 74 juta.
"Saya berharap ke depannya juga tidak akan ada yang tertipu lagi," ujarnya kepada Kontan, Selasa (12/11).
Dessy membeberkan kejadian gagal bayar sudah mulai terjadi sejak 2022. Dia menyebut seiring berjalannya waktu tidak ada kejelasan dari pihak Investree mengenai dana para lender.
"Tentu pihak lender merasa sangat dirugikan," kata Dessy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News