Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Guna menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan giro wajib minimum perbankan (GWM). Kebijakan normalisasi ini akan berdampak bagi likuiditas perbankan di tengah pandemi.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut kenaikan GWM secara bertahap ini tidak akan membuat likuiditas perbankan menjadi ketat. Bahkan, bank sentral memprediksi kelebihan likuiditas ini lebih tinggi dari kondisi sebelum pandemi.
BI pun sudah punya hitungan dampak dari rencana kenaikan GWM 350 basis poin (bps) bagi bank umum konvensional dengan rincian 150 bps di Maret, 100 bps di Juni, dan 50 bps di September 2022.
“Likuiditas perbankan sangat besar, sekarang itu Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) 35%. Sebelum Covid-19, itu paling besar hanya 21%. Bila GWM diterapkan, maka AL/DPK akan turun menjadi 30% di akhir 2022. Jadi masih jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum Covid-19,” ujar Perry pada pekan lalu.
Baca Juga: Jadi Penopang Bisnis, BRI Salurkan Kredit Mikro Rp 483,89 triliun pada Tahun Lalu
Berdasarkan prediksi likuiditas yang masih berlebih ini, BI berharap perbankan tetap menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada masyarakat. BI juga yakin perbankan masih akan melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) untuk pembiayaan APBN.
Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri Panji Irawan menyatakan sudah mengantisipasi dan siap terhadap pengetatan kebijakan ini. Sebab, normalisasi kebijakan likuiditas ini juga dilakukan secara bertahap.
“Secara angka, 3,5% dari total DPK rupiah Bank Mandiri senilai Rp 793,72 triliun maka awal 2022 GWM kami hanya Rp 27,78 triliun. Pada Maret naik Rp 12 triliun, begitu juga pada Juni naik Rp 9 triliun dan September naik lagi Rp 6 triliun,” jelas Panji.
Dus, secara keseluruhan Bank Mandiri membutuhkan konversi likuiditas sebanyak Rp 24 triliun hingga Rp 26 triliun ke dalam GWM. Ia melihat, sepanjang 2020 hingga saat ini, likuiditas masih mencukupi.
“Dengan proyeksi pertumbuhan DPK dan kredit di tahun ini, maka akses likuiditas Bank Mandiri masih memadai guna memenuhi likuiditas baik kenaikan GWM secara bertahap maupun keperluan bisnis lainnya,” papar Panji.
Baca Juga: Dana Kelolaan Bisnis Wealth Management BCA Tembus Rp 87 Triliun di 2021
Bank Mandiri memproyeksikan kredit bisa tumbuh di atas 8% sepanjang 2022. Panji menyatakan juga masih ada ruang untuk terbitkan global bond bila dibutuhkan likuiditas.
Bank Mandiri akan merilis surat utang itu dalam bentuk Euro Medium Term Notes (EMTN) sebesar US$ 450 juta. Ataupun melakukan pendanaan dengan tipe lain dalam valuta rupiah atau asing baik secara bilateral atau eksekusi dengan pertimbangan aspek seperti waktu tepat seperti waktu dan kondisi pasar.
Sedangkan Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini telah mengidentifikasi awal dan melakukan simulasi dampak dari kebijakan GWM ini. Hasilnya, kenaikan GWM tidak akan terlalu berdampak bagi kinerja BNI di 2022.
“Saat ini, likuiditas BNI masih berlimpah sebab LDR BNI di 2021 capai 79,7%. Level ini, cukup untuk ekspansi bisnis di 2022. Memang ada dampak pengalihan likuiditas yang sebelumnya di surat berharga ke GWM, tapi dampaknya tidak akan besar bagi profitabilitas BNI,” tuturnya.
BNI menyatakan kredit akan tumbuh lebih agresif di kisaran 7% hingga 10% yoy sepanjang tahun ini. Strateginya dengan banyak mengubah proses bisnis secara digital dan memperkuat manajemen risiko.
Seiya sekata, Direktur Keuangan & Strategi Bank Syariah Indonesia (BSI) Ade Cahyo Nugroho menyatakan memiliki likuiditas yang berlimpah saat ini. Tercermin dari rasio financing to deposit ratio (FDR) di level 74% di 2021. “Ke depan, strategi besarnya pembiayaan lebih agresif tapi prudent, dengan dana lebih sehat dengan fokus ke dana murah. Sehingga pertumbuhan profitabilitas baik,” paparnya.
BSI membidik pertumbuhan DPK naik 8% yoy pada tahun ini. Sedangkan pembiayaan syariah akan dikejar naik 7% sampai dengan 7,5% di sepanjang 2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News