Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri asuransi jiwa tengah menghadapi tantangan berat akibat meningkatnya risiko investasi dalam negeri.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hasil investasi industri asuransi jiwa per Januari 2025 mengalami kontraksi tajam sebesar 56% secara tahunan (year-on-year/YoY), turun dari Rp3,70 triliun pada Januari 2024 menjadi Rp1,63 triliun.
Menurut pengamat asuransi Irvan Rahardjo, salah satu penyebab utama kontraksi ini adalah menurunnya harga Surat Berharga Negara (SBN), yang masih menjadi portofolio investasi terbesar bagi industri asuransi jiwa.
“Tren ini diperkirakan akan berlangsung dalam jangka menengah hingga panjang, lebih dari satu tahun. Hal ini disebabkan oleh beban fiskal Indonesia yang sangat berat serta minimnya sentimen positif di dalam negeri,” ujar Irvan kepada Kontan, Rabu (26/3).
Baca Juga: Kenaikan Yield SBN Bisa Pengaruhi Kupon, Kemenkeu Tetap Pertahankan Strategi
Lebih lanjut, Irvan mengatakan ketidakpastian global akibat proteksionisme Donald Trump, perang dagang AS-Tiongkok, serta ketegangan geopolitik juga semakin memperburuk kondisi.
“Inisiatif Danantara juga tidak memberikan sentimen positif di pasar bursa,” ujar Irvan.
Penurunan hasil investasi juga berdampak pada pendapatan industri asuransi jiwa, yang mengalami kontraksi 16,5% YoY menjadi Rp13,96 triliun dibandingkan Rp16,72 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Namun, di tengah tekanan ini, industri asuransi jiwa masih mampu membukukan pertumbuhan laba setelah pajak sebesar 51% YoY, dari Rp641,54 miliar menjadi Rp969,03 miliar.
Dalam menghadapi tekanan ini, Irvan menekankan pentingnya strategi investasi yang berhati-hati. Perusahaan asuransi jiwa disarankan untuk tetap mematuhi prinsip tata kelola yang ditetapkan OJK serta menjalankan kebijakan investasi yang disiplin.
Baca Juga: Hingga Pertengahan Maret, Kemenkeu Tarik Utang Lewat SBN Rp 255 Triliun
“Asuransi harus menyesuaikan kebijakan investasinya dengan karakteristik dan durasi kewajiban. Kualitas aset dan likuiditas perlu diperhatikan agar perusahaan mampu memenuhi kewajiban saat jatuh tempo, sesuai dengan prinsip Asset Liability Management (ALM),” ujar Irvan.
Terkait prospek SBN ke depan, Irvan menilai bahwa potensi rebound dalam jangka pendek masih belum dapat dipastikan. “Prospek rebound SBN belum bisa diperkirakan dalam jangka pendek ini,” tutup Irvan.
Selanjutnya: Tren Pemulihan Manufaktur Singapura Melemah, Produksi Turun 1,3% di Februari
Menarik Dibaca: 7 Obat yang Cepat Menurunkan Kolesterol Tinggi secara Alami
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News