kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Industri substitusi impor belum terdata di bank


Rabu, 27 Agustus 2014 / 15:53 WIB
Industri substitusi impor belum terdata di bank
ILUSTRASI. Dok. DBS Bank


Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Perhimpunan bank-bank umum nasional (Perbanas) mengakui penyaluran kredit perbankan untuk industri substitusi impor belum terdata. Hal ini disebabkan belum adanya definisi dan kriteria resmi industri substitusi impor dari sejumlah regulator Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Perindustrian.

Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono menuturkan bahwa sampai saat ini belum ada kesamaan persepsi apa saja yang termasuk industri substitusi impor.

“Kalau kami sendiri berpandangan industri substitusi impor adalah industri yang mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang selama ini pemenuhannya bergantung pada impor,” kata Sigit di Jakarta, Rabu (27/8).

Kondisi ini mempersulit pemetaan data serta rekapitulasi nilai penyaluran kredit perbankan untuk industri substitusi impor. Kalaupun ada, data tersebut tersebar berserakan di masing-masing bank yang tentu bisa saja memiliki kriteria yang berbeda-beda.

“Itu sebabnya sampai akhir semester I 2014, kami sendiri belum mengetahui secara persis berapa nilai penyaluran kredit industri substitusi impor serta pertumbuhannya dibanding periode yang sama tahun lalu. Di data OJK maupun BPS juga tidak ada,” ujar Sigit.

Namun Sigit mengakui porsi kredit perbankan untuk industri substitusi impor secara umum masih minim. Ada tiga faktor penyebab banyak bank masih enggan menyalurkan kredit dalam jumlah besar.

Antara lain pembayaran angsuran kredit yang belum lancar, laporan keuangan yang belum sehat, dan prospek bisnis industri substitusi impor yang belum bagus.

“Tak cukup hanya mengandalkan peran perbankan, harus juga diikuti sejumlah kebijakan dari pemerintah untuk mendorong peningkatan pembiayaan perbankan di industri substitusi impor,” tukas Sigit.

Kebijakan yang dimaksud adalah memperketat keran impor agar pasar Indonesia tak terlalu dibanjiri produk impor dengan harga yang murah. Selain itu juga harus ada insentif seperti keringanan pajak, keringanan bea masuk, dan pembangunan infrastruktur.

Kombinasi berbagai kebijakan tersebut diyakini akan membuat produk industri substitusi impor mampu bersaing di pasar domestik. “Jika prospek industri substitusi impor semakin bagus, saya yakin perbankan akan semakin gencar menyalurkan kredit,” pungkas mantan Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×