Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemampuan bank mencetak laba pada tahun 2021 meningkat signifikan setelah tertekan pada tahun sebelumnya. Hal itu ditandai dengan Return in Equity (RoE) atau rasio laba yang dihasilkan bank dari modalnya.
Kemampuan mencetak laba meningkat seiring mulai pulihnya ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Prospek perolehan laba tahun ini diperkirakan akan semakin membaik mengingat pembentukan pencadangan tidak akan lagi setinggi dua tahun terakhir.
Tahun lalu, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) tercatat sebagai bank dengan kemampuan mencetak laba paling tinggi di Tanah Air. RoE bank ini mencapai 18,3%, naik dari 16,5% pada tahun sebelumnya.
Selanjutnya ada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dengan ROE 16,4%, naik dari 11,5% pada tahun 2020. PT Bank Mandiri Tbk mencatat kenaikan RoE dari 8,12% ke 14,2%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) meningkat dari 2,9% ke 10,4%, dan PT Bank CIMB Niaga Tbk naik dari 5,3% menjadi 10,7%.
Baca Juga: Kinerja Membaik, Laba Bersih Bank Jabar Banten Syariah Tumbuh 494,84% di 2021
Vera Eve Lim Direktur Keuangan BCA mengatakan, peningkatan laba bersih perseroan sebesar 15,8% ke Rp 31,4 triliun tahun lalu sejalan dengan kondisi permodalan, likuditas dan kualitas kredit yang masih terjaga. Alhasil, RoE perseroan meningkay ke 18,3% dan Return on Aset naik jadi 3,5%.
Untuk semakin meningkatkan kemampuan mencetak laba, BCA akan terus berupaya secara optimal menyalurkan kredit di tengah permintaan kredit yang belum pulih sepenuhnya.
Beberapa inisiatif terkait perbankan digital terus BCA optimalkan dengan baik dengan tetap memperhatikan tata kelola perusahaan dan manajemen risiko yang baik serta selaras dengan regulasi yang ditetapkan pemerintah.
Berbagai inovasi baik produk maupun jasa juga berhasil diimplementasikan dengan optimal dan memberikan nilai tambah bagi BCA.
"Ke depan, BCA akan terus berkolaborasi dan bersinergi untuk semakin memperluas ekosistem bisnis dan menjadikan layanan perbankan BCA menjadi lebih efektif dan efisien bagi nasabah," kata Vera, Kontan.co.id, Jumat (18/3).
Sementara kenaikan RoE BRI juga sejalan dengan peningkatan laba bersihnya sebesar 75,5% tahun lalu.
Aestika Oryza Gunarto Sekretaris Perusahaan BRI mengatakan, perseroan akan menjaga RoE di kisaran 16%-17% tahun ini.
BRI optimistis tren profitabilitas tahun ini akan meningkat meskipun perseroan masih harus tetap menjaga pencadangan dalam mengantisipasi tantangan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Perseroan juga tetap harus menjaga sustainability kinerja.
"Kami optimistis tren profitabilitas akan meningkat. Selain karena kondisi perekonomian yang akan lebih baik juga dikarenakan kondisi sektor perbankan yang lebih siap menghadapi tantangan tahun ini," imbuh Aestika.
BNI juga akan terus berupaya meningkatkan RoE ke depan hingga ke atas 18% pada tahun 2025.
Vice President Investor Relations BNI Yudha Pradipta BNI mengungkapkan, angka tersebut sudah cukup bagus untuk dikejar karena RoE rata-rata industri saat ini masih di kisaran 10%-12%.
Untuk mencapai itu, strategi BNI adalah dengan melakukan ekspasnsi kredit secara berkelanjutan dan sehat. Dalam lima tahun ke depan, bank ini menargetkan kredit tumbuh rata-rata 10% per tahun.
Adapun strategi penyaluran kredit BNI adalah fokus tumbuh di segmen atau sektor yang berisiko rendah dengan mengakuisisi debitur berkualitas tinggi dan top tier.
"Bisnis yang akan kami garap adalah total solusi bagi seluruh ekosistem debitur tersebut. Sehingga akan mendorong seluruh transaksi nasabah yang ada di BNI. Dengan begitu, ini tidak hanya menghasilkan pendapatan bunga tetapi juga fee based income (FBI),"jelas Yudha.
Baca Juga: Kinerja Sektor Perbankan Tetap Membaik Meski Suku Bunga Naik
Tahun lalu, rasio FBI BNI terhadap total pendapatannya mencapai 30%. Bank ini menargetkan rasio FBI ini bisa mencapai 35% dalam lima tahun ke depan.
Dengan fokus mengakuisisi debitur top tier dan berkualitas baik di sektor yang manageble, BNI memperkirakan rasio kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) akan semakin membaik. Perseroan menargetkan NPL akan berada di bahwa 1,5% pada tahun 2025.
Seiring membaiknya NPL maka BNI tidak perlu lagi membentuk pencadangan lebih banyak sehingga biaya kredit atau cost of credit (CoC) yang saat ini masih di sekitar 3,3% akan diturunkan ke level di bawah 1% dalam empat tahun ke depan.
"Tahun lalu merupakan tahun terakhir BNI membentuk pencadangan besar. Tahun ini kita akan turunkan signifikan dimana target CoC ada dikisaran 2%-2,5%. Kalau realisasinya 2,3% misalnya, maka akan turun 1% dari tahun 2021. Dengan total kredit BNI sekitar Rp 600 triliun maka penurunan 1% CoC ini akan menghasilkan tambahan laba sekitar Rp 6 triliun," jelas Yudha.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus memandang, prospek saham bank-bak besar masih cukup baik tahun ini. Kebijakan BI mempertahankan suku bunga acuannya dinilai membawa dampak positif karena karena Indonesia masih dalam proses pemulihan ekonomi.
Daya beli masyarakat saat ini masih lemah dan ditambah dengan kredit yang dalam proses restrukturisasi Covid-19 masih besar sehingga kenaikan suku bunga bisa menyebabkan kenaikan NPL.
Dalam jangka pendek, Nicao melihat saham-saham bank besar memang berpotensi koreksi setelah pembagian dividen namun dalam jangka panjang akan melanjutkan tren kenaikan.
"Kami masih yakin dan optimistis dengan bobot overweight, saham perbankan masih akan seksi tahun ini. Apalagi kalau diperhatikan ekonomi kita semakin kuat dalam menghadapi Omicron," kata Nico. Dia memiliki target harga untuk BBRI Rp 5.000, BMRI Rp 8.900, BBCA Rp 8.300 dan BBNI Rp 8.750.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News