Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mendorong perbankan untuk segera menurunkan suku bunga kredit guna mempercepat penyaluran pembiayaan ke sektor riil dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Namun, penyesuaian suku bunga kredit perbankan masih berjalan lambat, meski BI sudah dua kali menurunkan suku bunga acuannya.
Baca Juga: Suku Bunga Kredit Sektor Prioritas Mulai Turun Meski Kualitas Kredit Memburuk
Sejak BI Rate turun ke level 5,50% pada Mei 2025, suku bunga deposito satu bulan memang turun tipis dari 4,83% pada April menjadi 4,81% di Mei. Begitu pula suku bunga kredit yang sedikit melemah dari 9,19% ke 9,18%.
Namun, suku bunga kredit baru justru menunjukkan arah sebaliknya. Berdasarkan data BI, kenaikan suku bunga kredit baru terjadi di hampir seluruh kelompok bank, kecuali Kantor Cabang Bank Asing (KCBA).
Secara rinci:
- BUMN Bank naik 36 bps menjadi 8,81%
- BUSN naik 26 bps menjadi 10,61%
- BPD naik 12 bps menjadi 9,97%
- KCBA turun 138 bps menjadi 7,21%
Baca Juga: BI Buka Peluang Pangkas Suku Bunga Tahun Ini di Tengah Ketidakpastian Global
Kekakuan Bunga Kredit dan Persaingan Likuiditas
Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyebut lambatnya penurunan bunga kredit disebabkan oleh kekakuan struktural dalam sistem bunga perbankan di Indonesia.
“Ketika BI Rate turun, butuh waktu cukup lama bagi bank menyesuaikan bunga kreditnya. Apalagi likuiditas ketat karena bank bersaing dengan instrumen lain seperti SBN dalam menghimpun dana,” ujar Huda, Kamis (19/6).
Menurutnya, bank harus menetapkan bunga deposito tinggi untuk menarik dana dari nasabah. Akibatnya, bunga kredit pun ikut dipatok tinggi agar margin tetap terjaga.
Baca Juga: The Fed Tahan Suku Bunga Acuan, Soroti Risiko Inflasi dan Dampak Tarif Trump
Di sisi lain, Huda menyebut tingginya bunga kredit juga bisa menekan potensi risiko kredit macet (non-performing loan/NPL), tetapi berdampak negatif pada penyaluran kredit ke sektor produktif.
“Kalau bunga kredit tetap tinggi, perbankan akan cenderung selektif, sehingga kredit melambat. Ini berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi karena cost of investment yang mahal,” jelasnya.
Perbankan Tersandera Cost of Fund
Presiden Direktur Bank CIMB Niaga, Lani Darmawan, mengungkapkan bahwa penurunan suku bunga kredit sulit dilakukan karena biaya dana (cost of fund/CoF) masih tinggi.
“Likuiditas pasar ketat, terlihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) yang tinggi. Kalau CoF belum turun, bank juga sulit menurunkan suku bunga kredit,” kata Lani.
Sebagai gambaran, suku bunga dasar kredit (SBDK) di CIMB Niaga masih berada di kisaran 8,20% untuk segmen korporasi hingga 12,11% untuk kredit non-KPR/KPA
Baca Juga: Bank Indonesia Diramal Hanya Pangkas Suku Bunga Satu Kali Lagi pada Akhir 2025
Penentuan Suku Bunga Kredit Tak Bisa Disamaratakan
Sementara itu, Direktur Kepatuhan OK Bank, Efdinal Alamsyah, menjelaskan bahwa penetapan suku bunga kredit tidak bisa digeneralisasi, karena sangat tergantung pada profil risiko debitur dan jenis portofolio kredit.
"Tapi kalau berbicara secara industri Perbankan, banyak faktor yang menyebabkan suku bunga tidak turun, misalnya faktor likuiditas bisa menjadi salah satu faktor, termasuk juga misalnya komposisi sumber dana, cost of fund, dan lain-lain," jelasnya.
Selanjutnya: Permintaan China dan India Turun, Pengusaha Batubara Incar Pasar Ekspor Baru
Menarik Dibaca: Cerita Maudy Ayunda dan Caca Tengker Kala Menggunakan Lotion dengan Kandungan Oat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News