kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.929.000   -9.000   -0,46%
  • USD/IDR 16.280   -10,00   -0,06%
  • IDX 7.113   44,39   0,63%
  • KOMPAS100 1.038   7,95   0,77%
  • LQ45 802   5,08   0,64%
  • ISSI 229   1,99   0,87%
  • IDX30 417   1,49   0,36%
  • IDXHIDIV20 489   1,52   0,31%
  • IDX80 117   0,66   0,57%
  • IDXV30 119   -0,75   -0,63%
  • IDXQ30 135   0,08   0,06%

Ini Tanggapan AAJI Terkait Aturan Co-Payment Dalam SEOJK Produk Asuransi Kesehatan


Rabu, 04 Juni 2025 / 20:28 WIB
Ini Tanggapan AAJI Terkait Aturan Co-Payment Dalam SEOJK Produk Asuransi Kesehatan
ILUSTRASI. OJK telah menerbitkan Surat Edaran (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/nym.


Reporter: Ferry Saputra | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan telah menerbitkan Surat Edaran (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan pada 19 Mei 2025.

Dalam SEOJK tersebut, tertuang salah satu ketentuan mengenai produk asuransi kesehatan harus memiliki skema co-payment atau pembagian risiko dalam layanan rawat jalan dan rawat inap.

Adapun produk asuransi kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit sebesar 10% dari total pengajuan klaim dengan batas maksimum untuk rawat jalan sebesar Rp 300.000 per pengajuan klaim dan rawat inap sebesar Rp 3 juta per pengajuan klaim.

Baca Juga: Prudential Indonesia Siap Adaptasi Skema Co-Payment dalam Produk Asuransi Kesehatan

Mengenai ketentuan itu, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyebut aturan co-payment bukan hal baru di dunia asuransi. Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon menjelaskan mekanisme pertanggungan asuransi tersebut sudah ada dari tahun-tahun sebelumnya dan tak hanya diterapkan di Indonesia, tetapi sudah diterapkan di banyak negara.

"Jadi, aturan atau mekanisme co-payment tersebut sudah lama ada," katanya saat konferensi pers AAJI, Rabu (4/6).

Budi menyebut mekanisme co-payment sebenarnya juga ada dalam produk asuransi kendaraan. Dia mencontohkan kendaraan yang diasuransikan pada beberapa polis asuransi memberikan keterangan kalau terjadi klaim, nasabah mesti membayar dahulu sampai nilai tertentu. Selanjutnya, di atas batas maksimum yang dibayarkan nasabah, kemudian baru ditanggung asuransi.

Selain itu, ada juga mekanisme co-payment yang menerangkan kalau terjadi klaim, asuransi bayar sekian persen dan sisanya yang biasanya lebih kecil persentasenya itu ditanggung oleh nasabah.

"Jadi, co-payment lazim di banyak negara dan sudah berlaku di Indonesia," tuturnya.

Lebih lanjut, Budi menyampaikan sebenarnya sudah ada beberapa polis asuransi kesehatan yang kesepakatan nasabah dengan penanggungnya hanya membayar sekian persen.

"Penanggung atau perusahaan asuransi misal membayar klaim 80%-90%, sisanya dibayar oleh yang bersangkutan (tertanggung). Jadi, hal itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru," ungkapnya.

Baca Juga: YLKI Minta OJK Tinjau Ulang Aturan Co-Payment Asuransi Kesehatan

Budi menambahkan seumpamanya terdapat dua mekanisme pembayaran klaim asuransi kesehatan. Pertama, perusahaan asuransi menawarkan kepada nasabah untuk dibayarkan klaimnya penuh 100%, lalu kedua mekanisme dibayarkan klaimnya 90% kemudian sisanya ditanggung nasabah. Dia mengatakan tentu saat ditanya penawaran tersebut, nasabah akan memilih yang 100%.

Hanya saja, kata Budi, tentu nilai premi yang dibayarkan nasabah akan berbeda juga. Dia bilang logikanya aktuaris akan mengeluarkan pricing yang berbeda juga mempertimbangkan dua mekanisme tersebut.

"Timbul pertanyaan, akan memberatkan nasabah karena harus menanggung klaim 10%? Ingat, klaim yang 10% nilainya itu dibatasi, misal rawat jalan menjadi maksimal Rp 300 ribu. Jadi, kalau rawat jalan itu biayanya Rp 1 juta, tentu 10% itu Rp 100 ribu," ungkapnya.

Budi menuturkan apabila ada biaya rawat jalan yang akhirnya mencapai Rp 5 juta, otomatis klaim yang mesti dibayarkan nasabah batas atasnya tetap Rp 300 ribu, meski 10% dari nilai biaya tersebut adalah Rp 500 ribu.

Selanjutnya, Budi menuturkan apabila ada biaya rawat inap yang mencapai Rp 50 juta misalnya, tentu klaim yang mesti dibayarkan nasabah itu batas atasnya Rp 3 juta, bukan 10%-nya itu dibayarkan Rp 5 juta.

Budi meyakini program co-payment dalam produk asuransi kesehatan berdasarkan SEOJK yang baru membuat premi akan lebih terjangkau buat masyarakat. 

Baca Juga: Co-Payment Mulai Diberlakukan, Penetrasi Asuransi Kesehatan Diyakini Tetap Tinggi

"Di sisi yang lain, preminya akan lebih terjangkau. Selain itu, saya juga lumayan percaya ada peluang besar kenaikan preminya pada saat polis asuransinya jatuh tempo itu tidak sebesar sekarang," kata Budi.

Terkait dampaknya terhadap asuransi jiwa mengenai aturan co-payment, Budi mengatakan ada pekerjaan yang timbul, seperti sosialisasi dan sistem penyesuaian di internal, sebagai akibat dari adanya SEOJK 7/2025 kepada setiap perusahaan asuransi. Sebab, dia bilang saat ini mungkin 90%-99% polis asuransi kesehatan belum co-payment.

"Belum co-payment saat ini. Ke depannya tentu harus diubah. Masalah sosialisasi di internal maupun kepada nasabah, tentu semua pekerjaan besar," katanya.

Meskipun demikian, Budi menilai OJK cukup bijak mengeluarkan aturan tersebut pada saat ini. Sebab, ada waktu bagi perusahaan asuransi untuk mempersiapkan semua penyesuaian. 

Dia menambahkan klaim kesehatan yang terus naik apabila tak diantisipasi, kemungkinan akhirnya akan memberatkan perusahaan asuransi dan masyarakat juga.

"Klaim naik itu pasti memberatkan kami. Ujungnya, akan memberatkan masyarakat juga ketika harus membayar klaim. Kalau terjadi terus-menerus, lama-lama masyarakat juga tak kuat. Kalau tak kuat, dan semuanya akhirnya beralih hanya kepada BPJS Kesehatan, lama-lama BPJS Kesehatan juga mungkin susah juga. Jadi, harus ada beberapa perubahan," ungkapnya.

Dengan segala tantangan yang ada, Budi mengatakan perusahaan asuransi jiwa akan mencoba terlebih dahulu dan melihat bersama-sama ke depannya.

"Namun, saya lumayan percaya, aturan itu juga akan baik buat pemegang polis kami dan mungkin baik juga buat industri kesehatan," ucap Budi.

Baca Juga: AAJI Catat Pendapatan Premi Capai Rp 47,45 Triliun pada Kuartal I-2025

Sementara itu, Budi menyampaikan AAJI menyambut baik terbitnya SEOJK 7 Tahun 2025. Dia mengatakan adanya SEOJK itu sebagai langkah strategis OJK dalam memperkuat tata kelola dan keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia.

"Regulasi itu hadir sebagai jawaban atas tantangan industri, khususnya yang terkait dengan pengendalian biaya klaim, transparansi manfaat, serta perlindungan hak masyarakat. Kami memandang aturan itu sebagai peluang untuk membangun sistem asuransi kesehatan yang lebih adil dan efisien," tuturnya.

Oleh karena itu, Budi mengatakan AAJI secara aktif berkoordinasi dengan OJK agar implementasi regulasi yang tertuang dalam SEOJK 7 Tahun 2025 tetap selaras dengan dinamika industri, sekaligus menjaga keseimbangan antara kemampuan perusahaan dan pelindungan yang optimal bagi masyarakat.

Selanjutnya: Ini Tanggapan AAJI Terkait Aturan Co-ayment Dalam SEOJK Produk Asuransi Kesehatan

Menarik Dibaca: Libur Panjang Idul Adha, OYO Hadirkan Diskon Hingga 75%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×