Reporter: Christine Novita Nababan, Dea Chadiza Syafina, Galvan Yudistira | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Inilah kado pasca Lebaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi industri perbankan nasional. Demi memompa aliran kredit dan mendorong geliat ekonomi, OJK merilis 12 butir paket stimulus bagi perbankan. Setidaknya, ada dua poin penting yang dihadiahkan OJK kepada kalangan perbankan.
Pertama, menurunkan bobot risiko kredit. Kedua, melonggarkan penerapan restrukturisasi kredit dan pengelolaan risiko kredit bermasalah atawa nonperforming loan (NPL). Contoh, penurunan bobot risiko kredit beragun rumah tinggal nonprogram pemerintah ditetapkan sebesar 35%, tanpa mempertimbangkan nilai loan to value (LTV) dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Sebelumnya, bobot risiko kredit beragun rumah tinggal ditetapkan berjenjang, mulai dari 35% hingga 45%. Semakin besar LTV, maka semakin besar bobot risikonya.
Tapi, Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK, menyatakan, berbagai kebijakan pelonggaran itu bersifat sementara atau temporer. Relaksasi aturan hanya berlaku selama dua tahun mendatang.
OJK turun tangan menyuntikkan stimulus lantaran perlambatan kredit perbankan kian nyata. Sebagai bukti, para bankir memangkas target pertumbuhan kredit dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) yang diserahkan ke OJK di Juni kemarin. Para bankir merevisi target pertumbuhan kredit dari 16%–17% menjadi tinggal 13%–15% sampai akhir tahun nanti.
Hitungan OJK, rata-rata penurunan target pertumbuhan kredit yang terjadi mencapai 2,67%. Penurunan kredit terbesar terjadi di bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 1 atau bank kecil yaitu sebanyak 6,5%. Sementara target kredit bank kelas kakap atau BUKU 4 melorot 1,4%.
Meski begitu, "Kebijakan ini bukan hal baru. OJK hanya menegaskan kembali saat siklus ekonomi melambat. Kami harapkan, relaksasi itu mendorong pertumbuhan kredit bank," kata Nelson. Alarm bahaya? Tapi, OJK menolak anggapan bahwa penerbitan relaksasi merupakan tanda alarm bahaya bagi industri perbankan.
Menurut Nelson, per Juni 2015, NPL gross perbankan sebesar 2,46% . "Andai terjadi peningkatan, NPL semester kedua tahun ini mudah-mudahan tidak menembus 3%," imbuh Nelson.
Namun, Doddy Ariefianto, ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menilai, relaksasi kebijakan OJK hanya mampu mendorong pertumbuhan kredit 1%–2%. Kebijakan pamungkas yang perlu dilakukan adalah menurunkan suku bunga acuan. Lalu, yang patut dicermati, relaksasi ini berpotensi menyulut moral hazard.
"Pelonggaran restrukturisasi kredit harus diwaspadai dan dipantau sebab berpotensi memicu moral hazard berupa window dressing kalau kebijakan ini ditetapkan berlama-lama," ungkap Doddy.
Demi mengantisipasi moral hazard, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad menegaskan, relaksasi hanya dinikmati bank yang memiliki manajemen risiko baik, serta menerapkan good corporate governance.
Yang pasti, bankir merasa girang dengan hadiah OJK. Menurut Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Bank Mandiri, pelonggaran risiko kredit bisa menghemat anggaran bank di pos potensi kerugian. "Sehingga, kondisi keuangan bank dan kredit bisa lebih baik," ujar Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News