Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perlombaan bank digital di Tanah Air sudah dimulai. Beberapa bank kecil sudah bertranformasi menjadi bank digital, sedangkan bank besar sudah memasuki perlombaan lewat strategi proxi dengan mengakuisisi bank kecil untuk dijadikan sebagai kendaraan menuju bank digital.
Yang teranyar, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) sedang dalam proses akuisisi bank kecil untuk dikembangkan menjadi bank digital. BNI juga bakal menggandeng perusahaan teknologi untuk mengembangkan bank digital tersebut.
Sebelumnya, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) sudah punya BCA Digital yang beroperasi lewat aplikasi Blu dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) akan memasuki persaingan lewat anak usahanya PT Bank Raya Tbk. Sedangkan bank yang langsung bertransformasi menjadi bank digital di antaranya ada PT Bank Jago Tbk, Bank Neo Commerce Tbk, dan lain-lain.
Secara global, bank-bank digital memang sudah bermunculan sejak beberapa tahun terakhir. Berdasarkan riset Boston Consulting Group (BCG), sudah ada lebih dari 200 bank digital berdiri sejak tahun 2010. Sebanyak 46 bank berada di kawasan Asia Pasifik. China dan Korea Selatan adalah salah satu pasar perbankan digital paling berkembang di kawasan ini.
Kakao Bank merupakan salah satu contoh sukses bank digital. Bank di Korea Selatan yang diluncurkan pada 27 Juli 2017 ini berkembang pesat hanya dalam waktu cukup singkat.
Baca Juga: Menanti Berakhirnya Euforia Bank Digital
Hanya dalam waktu dua tahun, bank ini berhasil mencetak keuntungan pada tahun 2019. Total pengguna aktif bulanan Kakao Bank pada akhir 2020 mencapai lebih dari Rp 13,6 juta.
"Hanya dalam beberapa bulan berdiri, Kakao Bank sudah memiliki 5 juta pengguna. Coba bayangkan kalau itu bank konvensional, berapa lama bisa mengumpulkan nasabah sebanyak itu? Memang ekologi digital mmebuat scale up perusahaan bisa cepat sekali," kata Poltak Hotradero, peneliti sekaligus ekonom Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (29/10).
Poltak mengatakan, Kakao Bank sukses menjadi bank digital yang untung dan berkembang pesat karena memiliki ekosistem sangat besar. Bank ini memiliki banyak sekali komunitas-komunitas.
Kakao Bank tidak memiliki cabang tetapi fokus pada layanan berbasis teknologi untuk menyasar nasabah. Konsep ini yang memungkinkan mereka menjangkau berbagai segmen pelanggan dengan cepat dan dalam skala besar.
Bank ini melayani segmen milenial, menawarkan alat manajemen keuangan pribadi yang kuat yang berfokus pada penganggaran dan tabungan.
Berdasarkan riset BCG, Kakao Bank memiliki ekosistem digital yang luas yang terdiri dari aplikasi perpesanan yang sangat populer, platform pembayaran, fungsi perdagangan.
Di sektor komunikasi, Kakao Bank punya layanan Kakao Talk dengan pengguna 50 juta lebih dan KakaoStory dengan pengguna 70 juta atau melebihi pengguna Facebook di Korea Selatan. Akuisisi nasabah dilakukan lewat dua layanan ini.
Dua aplikasi itu tentu menjadi kelebihan Kakao Bank yang mungkin sulit untuk diikuti Bank Digital di Indonesia. Di dalam negeri, aplikasi chating yang digunakan merupakan produk asing yakni Whatshapp.
Kakao Bank juga memiliki fintech yakni Kakaopay dengan 22 juta user pada akhir 2020. Di sektor e-commerce, bank ini punya KakaoSyle atau aplikasi sosial fashion, Kakaomart, dan KakaoTalk Gift.
Untuk mobility, bank ini punya Kakao T, Kakao Map, Kakao Bus, Kakao Metro, Kakao Navi, dan Kakao Parking. Lalu ada juga layanan Kakao Game, KakaoPage, KakaoTV, KakaoMusic, portal Daum, Daum News, Daum Search, serta Kakao Friend.
KakaoBank melaporkan laba bersih 113,6 miliar won atau sekitar US$ 101 juta pada tahun 2020, naik delapan kali lipat dari tahun sebelumnya. Selama periode yang sama, laba operasi dan pendapatan melonjak lebih dari sembilan kali lipat dan 21% menjadi 122,6 miliar won dan 804,2 miliar won, masing-masing.
Poltak mengatakan, performa Kakao Bank lebih baik dibandingkan industri bank di Korea Selatan. Kelebihannya terutama pada Dana Pihak Ketiga (DPK, fee based income atau pendapatan berbasis biaya serta rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) yang lebih rendah.
Pada tahun 2020, rasio fee based income bank ini mencapai 30,16%. Itu lebih rendah dari industri yang hanya mencapai 18,02%. Sementara DPKnya tumbuh 13,65% dibanding industri yang hanya naik 11,98%. Adapun NPLnya hanya 0,26% dibanding industri sebesar 1,78%.
"NPL bank digital rendah karena mereka memiliki data yang menjadi mesin learning. Dengan tersedianya data, mereka benar-benar tahu profil calon nasabahnya dengan detail. Sehingga mereka tahu kemana kredit yang boleh atau tidak boleh disalurkan," jelas Poltak.
Sementara bank tradisional selama ini, lanjut Poltak, cenderung tidak tahu secara detail profil nasabah ketika datang membuka rekening ke bank. Padahal, bisa jadi nasabah itu ada memiliki potensi bisnis yang besar untuk perbankan.
"Selama ini nasabah datang isi formulir, petugas bank tidak tahu kalau nasabah itu ternyata punya bisnis yang potensial bagi bank," pungkas Poltak.
Selanjutnya: Kebutuhan pinjaman meningkat, industri keuangan berlomba tawarkan bunga pinjaman mini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News