Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah bank besar menyatakan siap bila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan normalisasi kebijakan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19. Namun, kelompok bank kecil dan menengah masih membutuhkan modal dan pencadangan.
Hingga Desember 2021, OJK mencatat outstanding kredit restrukturisasi Covid-19 mencapai Rp 663,49 triliun dengan jumlah debitur 4,04 juta. Itu terdiri dari Rp 256,7 triliun dari UMKM dengan 3,11 juta debitur dan non UMKM Rp UMKM 406,76 triliun.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menjelaskan kesiapan bank besar tak terlepas dari pemupukan pencadangan yang cukup besar sejak 2020. Selain itu kondisi restrukturisasi pada sebagian bank besar berjalan cukup baik.
Baca Juga: Begini Strategi Bank Menjaga Margin Tahun Ini
“Begitupun dengan akuisisi kredit baru di tahun 2021 sudah memiliki kualitas yg lebih baik, shg akan membantu Bank dalam upaya perbaikan NPL dan menjaga kualitas aset, sehingga saat OJK melakukan normalisasi, mereka lebih siap dibandingkan Bank-bank kecil pada umumnya,” jelas Amin kepada Kontan.co.id pada Minggu (30/1).
Ia melihat, OJK telah memberikan peringatan bagi kepada bank-bank kecil untuk melakukan pencadangan. Sebab kondisi Bank-bank kecil tidak sebagus Bank-bank besar, karena perjalanan restrukturisasi yang kurang mulus dan pencadangan yang belum optimal.
“Lantaran tipisnya laba Bank-bank tersebut secara umum dan mereka juga masih dihadapkan kepada dilema pemenuhan modal inti untuk mengejar dan memenuhi kriteria regulator. Sehingga mereka belum bisa banyak berekspansi kredit yang berkualitas untuk menjaga aset aset dan portofolio kredit mereka dengan lebih baik,” paparnya.
Ia menyarankan, bank kecil membutuhkan komitmen penambahan modal atau bisa juga memakai skema merger dan akuisisi. Langkah itu guna bisa memperoleh dana segar yang dpt digunakan ekspansi kredit.
“Sehingga aset akan tumbuh dan bisa juga memperbesar cadangan, hal ini perlu juga dilakukan dengan inovasi produk yang berbasis IT/teknologi shg bisa bersaing dengan Bank-bank digital yang mulai tumbuh dan muncul saat ini,” paparnya.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyatakan kesiapan bila regulator mempercepat normalisasi kebijakan restrukturisasi kredit. Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menyatakan sisa kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 69,7 triliun. Nilai itu terus turun dari total kredit yang sudah dapat kelonggaran sebesar Rp 138 triliun.
“Sebagiannya sudah lunas, kembali dibayar, dan ada juga yang balik normal. Kita asumsikan kebijakan relaksasi itu akan berakhir Maret 2022. Sehingga dari 2020 hingga sekarang, kita menganut konsep yang konservatif untuk kredit restrukturisasi mulai dari low, medium, hingga high risk,” ujar Siddik pada pekan lalu.
Ia menyatakan, Bank Mandiri memilih mencadangkan kredit restrukturisasi yang tergolong high risk untuk kredit yang lebih berisiko mengalami pemburukan setiap bulan. Walaupun secara aturannya, tidak perlu dibentuk pencadangan.
Bank juga memilih menetapkan kredit restrukturisasi sebagai non performing loan (NPL) bagi nasabah yang susah kembali kembali normal. Ia berharap dengan langkah ini, Bank Mandiri tidak akan mengalami NPL shock saat normalisasi kebijakan dilakukan.
Baca Juga: Perbesar Bisnis Modal Ventura, Bank BCA Suntik Dana Rp 400 Miliar ke Anak Usaha
Seiring dengan itu, Bank Mandiri melakukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sebesar Rp 15,2 triliun termasuk untuk kredit restrukturisasi. Sedangkan cost of credit (CoC) Bank Mandiri turun dari 2,2% menjadi jadi 1,9%.
“Kebutuhan untuk menambah CKPN makin berkurang karena ekonomi makin pulih dan kemampuan tim kami di lapangan Kelola restrukturisasi makin baik. Kemudian, NPL di Bank Mandiri membaik menjadi 2,8% dibandingkan 3,1% di 2020,” paparnya.
Ia mengklaim, kredit yang akan jatuh ke NPL semakin berkurang. Seiring dengan upaya bank menyalurkan kredit baru ke sektor yang mulai pulih dan unggulan di setiap daerah. “Loan at rsik (LAR) termasuk covid-19 di 2021 ada di level 17,75% turun dari 2020 pada angka 22,3%. Angka itu diharapkan terus turun target kami sih 15% atau lebih baik,” jelasnya.
Adapun Direktur Manajemen Risiko BNI, David Pirzada menyatakan berakhir masa relaksasi restrukturisasi kredit tidak akan menjadi masalah. BNI akan memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi untuk tingkatkan kualitas kredit 2022.
“Termasuk ekspansi dengan perhatian prinsip berhati-hati jadi pertimbangan utama. NPL pada 2022 akan ditekan di bawah 3% dengan perkuat manajemen risiko. Adapun coverage ratio akhir 2021 233,38%, akan tetap ditingkatkan kembali sehingga 276% di 2022,” jelasnya.
Ia menyatakan sampai akhir 2021, rasio NPL di 3,7%,Turun signifikan 60 bps yoy dari 4,3% di 2020. Sedangkan rasio LAR include covid juga turun menjadi tercatat 23,3% di 2021. Sedangkan LAR di luar Covid-19 di level 12,3%.
“Total baki restruk turun sudah signifikan posisi akhir 2021 di angka Rp 72,12 triliun. Kredit restruk non covid Rp 50,8 triliun. Pemupukan CKPN mencapai RP 50,29 triliun,” jelasnya.
Sedangkan Direktur BCA Vera Eve Lim menyatakan pada tahun 2021, total kredit BCA mampu tumbuh 8,2% YoY mencapai Rp637,0 triliun. Pertumbuhan kredit ini diikuti oleh perbaikan kualitas pinjaman, sejalan dengan kredit yang direstrukturisasi berangsur kembali ke pembayaran normal.
Baca Juga: Pangsa Pasar Kredit Perbankan Dikuasai Bank BUMN
“Rasio loan at risk (LAR) turun ke 14,6% di tahun 2021, dibandingkan dengan 18,8% di tahun sebelumnya. Rasio kredit bermasalah (non-performing loan) terjaga sebesar 2,2%. Hal tersebut tidak lepas dari upaya pemerintah dan otoritas dalam mengendalikan pandemi sebagai upaya menuju pemulihan perekonomian nasional, serta kebijakan relaksasi restrukturisasi dari otoritas,” ujarnya.
Sejalan dengan peningkatan kualitas aset, biaya provisi tercatat menurun 19,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Ke depan, BCA berharap bahwa geliat perekonomian di Indonesia akan terus bangkit. Hal tersebut seiring dengan pemulihan ekonomi yang mulai berjalan disertai dengan penerapan protokol kesehatan dan berbagai kebijakan strategis dari regulator dan otoritas perbankan.
“BCA tetap akan melakukan pencadangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai langkah antisipasi kualitas kredit ke depannya sejalan dengan pemulihan ekonomi. BCA juga berkomitmen senantiasa mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News