kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ketika para konglomerat kembali mengoleksi bank


Rabu, 17 April 2013 / 08:52 WIB
Ketika para konglomerat kembali mengoleksi bank
ILUSTRASI. Seorang petugas memperlihatkan sejumlah produk logam mulia emas di gerai Pegadaian Galeri24, Jakarta. (KONTAN/Fransiskus Simbolon)


Reporter: Roy Franedya | Editor: Roy Franedya


Tren lama itu kembali terulang. Bagi orang super kaya di Indonesia, banyaknya kekayaan belum afdol bila belum memiliki lini usaha di bidang perbankan. Demi melengkapi bisnis mereka, beberapa tahun terakhir, banyak konglomerat mulai memiliki bank.

Tren ini mulai terlihat pada 2009 silam. Kala itu, ada beberapa bank kesulitan memenuhi aturan permodalan Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan bank memiliki modal inti minimum Rp 100 miliar pada 2010. Di antaranya, Bank IFI, Bank Dipo, Bank Alfindo Sejahtera dan Bank Liman Internasional.

Peluang ini langsung ditangkap salah satu orang super kaya Indonesia. Edward Soeryadjaya yang menggandeng Ganda Sitorus, menyatakan ketertarikan mengakuisisi Bank IFI. Michael Sampoerna berminat pada Bank Dipo dan Mochtar Riady bersama Yantoni Nio mengincar Bank Alfindo Sejahtera.

Dari tiga transaksi ini hanya akuisisi Bank Dipo dan Alfindo sejahtera yang sukses. Adapun Edward membatalkan rencananya, karena kondisi keuangan Bank IFI tidak tertolong. Bank ini memiliki rasio kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) 24%. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kemudian melikuidasi Bank IFI.

Keluarga Sampoerna resmi mengakuisisi Bank Dipo pada 2011 dan mengganti namanya menjadi Bank Sahabat Sampoerna. Bank ini berubah fokus bisnis dari pembiayaan kendaraan bermotor menjadi bank spesialis kredit mikro dan usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Keluarga Lippo dan Pikko Grup juga merampungkan akuisisi pada 2011. Bank ini bersalin nama menjadi Bank Nasional Nobu dengan kepemilikan saham 60% Lippo dan 40% Yantoni Nio. Akuisisi ini memang sempat tersandung daftar hitam BI, sebab Mochtar Riyadi pernah memiliki Bank Lippo yang harus disehatkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) karena kredit bermasalah yang tinggi. Namun, masalah ini selesai, setelah BI menyatakan, ia bukan bagian dari daftar hitam perbankan.

Nah, sekarang Bank Nasional Nobu berencana melepas 52% sahamnya ke publik melalui initial public offering (IPO). Manajemen berharap mendapatkan suntikan dana Rp 1 triliun untuk mensukseskan rencana ekspansi jumlah kantor 70 cabang dalam 3 tahun ke depan dan memperbesar kapasitas bisnis.

Jauh sebelumnya, tepatnya pada tahun 2002, Grup Djarum menjadi pemegang saham mayoritas di Bank Central Asia (BCA) melalui Faralon Capital Management. Dan belakangan, Chairul Tanjung (CT) dan Hary Tanoesoedibjo (HT) menjadi investor yang senang mengakuisisi bank.

Pekan lalu, kedua orang terkaya ini mengumumkan rencana pembelian bank. CT membeli 30% saham Bank Sulawesi Tengah. Pembelian ini menambah koleksi bank pembangunan daerah (BPD). Tahun lalu CT membeli 24% saham Bank Sulut. Sebelumnya, CT memiliki Bank Mega dan Mega Syariah.

Adapun HT mengumumkan pembelian 30% saham Bank ICB Bumiputera dari ICB Finansial Holding Grup. Setahun terakhir ini, pemilik MNC grup ini memang santer diisukan akan mengakuisisi bank di Indonesia. Sebelumnya beredar kabar, HT tertarik beli Bank Muamalat dan Bank Windu Kencana.

Selain bank umum, HT dengan menggandeng organisasi masyarakat Persatuan Indonesia (Perindo) berencana mendirikan bank perkreditan rakyat (BPR). Rencana ini akan direalisasikan tahun ini.

Komisaris Utama Bank Nobu, Adrianus Moy, mengatakan wajar jika orang kaya di Indonesia tertarik mengakuisisi bank. Negeri ini memasuki masa "bonus demografi", dari meningkatkan kelas menengah usia produktif. Ada dua sektor yang bisa digarap dari kelas menengah. Kelas menengah bawah gemar mengkonsumsi dengan menawarkan kredit konsumsi dan kelas menengah atas yang kreatif, melalui kredit UMKM. "Bisnis bank begitu menjanjikan sehingga mereka perlu membeli bank," ujar pria yang juga pernah menjabat sebagai Gubernur BI ini.

Pengamat perbankan, Mohammad Doddy Arifianto, menambahkan ketertarikan orang kaya membeli bank karena return investasi perbankan sangat tinggi. Apalagi nett interest income (NIM) tertinggi di negara manapun. "Bagi investor, kedua hal ini menjadi asuransi investasi mereka. Dana kembali cepat dan menguntungkan," ujarnya.

Nah, menarik dinanti taipan mana lagi yang akan masuk ke perbankan. Sebab peluangnya cukup besar. Dalam aturan BI tentang kepemilikan bank umum, regulator perbankan ini mewajibkan bank wajib menjaga good corporate governance (GCG) dan tingkat kesehatan minimal level dua. Bank diberikan kesempatan memperbaiki diri hingga Desember 2013. Jika tidak memenuhi, pemilik wajib mendivestasi saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×