kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.901.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%

Kinerja Bank Swasta Lebih Unggul dari BUMN pada Semester I-2025


Kamis, 31 Juli 2025 / 22:27 WIB
Kinerja Bank Swasta Lebih Unggul dari BUMN pada Semester I-2025
ILUSTRASI. Kredit Perbankan: Teller menghitung uang di Hana Bank, Jakarta, Senin (13/1/2025). Menutup periode semester I-2025, industri perbankan mencatatkan kinerja keuangan yang terbilang cukup variatif diman bank swasta ungguli BUMN.


Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menutup periode semester I-2025, industri perbankan mencatatkan kinerja keuangan yang terbilang cukup variatif.

Meski demikian, dari sisi pertumbuhan laba, bank-bank milik swasta mampu melesat lebih kencang dibandingkan dengan bank-bank milik negara.

Bahkan, mayoritas dari bank-bank negara justru mencatatkan penurunan laba sepanjang enam bulan pertama di 2025 ini.

Ambil contoh, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang mencatatkan penurunan laba 11,5% YoY jadi Rp 26,53 triliun dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang turun 5,6% YoY jadi Rp 10,69 triliun.

Baca Juga: Perbankan Swasta Masih Menabung Laba

Adapun, penurunan yang dialami oleh bank-bank pelat merah ini lebih banyak dipengaruhi oleh beban provisi yang meningkat. Ini menjadi pertanda bahwa ada risiko yang meningkat di portofolio kredit mereka.

Secara rinci, beban provisi dari BRI mengalami kenaikan sekitar 25,8% YoY menjadi Rp 23,3 triliun di periode Januari-Juni 2025. Sementara itu, beban provisi BNI mengalami kenaikan 7,9% YoY menjadi Rp 3,78 triliun.

Ini berbanding terbalik dengan kinerja bank-bank swasta yang justru mampu mempertahankan profitabilitas mereka. Di mana, bank-bank swasta ini telah berhasil menekan beban impairment yang mereka miliki.

Sebagai contoh, ada PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang telah membukukan laba senilai Rp 29 triliun atau naik sekitar 8%. Beban provisi dari bank swasta terbesar ini telah turun 43,4% secara tahunan.

Baca Juga: Adu Kinerja Penyaluran Kredit BCA, BNI dan CIMB Niaga pada Semester I-2025

Hal serupa terjadi di PT Bank CIMB Niaga Tbk dengan laba bersih senilai Rp 3,45 triliun dengan tetap tumbuh 1,4% YoY. Salah satu penopang pertumbuhan labanya juga berasal dari turunnya biaya provisi sekitar 24,9% YoY.

Pengamat Perbankan Moch. Amin Nurdin mengungkapkan bahwa kalau secara umum dari sisi kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) sejatinya mengalami kondisi sama, baik itu bank swasta maupun bank pemerintah. Namun, yang menjadi pembeda adalah bagaimana kualitas kredit yang mereka salurkan.

Dalam hal ini, Amin mengungkapkan jika kualitas kreditnya baik, maka pembentukan pencadangan yang berasal dari biaya provisi tak perlu banyak dilakukan.

Berbeda cerita, kata Amin, jika kualitas ada pemburukan sehingga pembentukan pencadangan bisa mengurangi laba.

Di sisi lain, ia melihat bank-bank swasta ini tidak terbebani oleh program-program pemerintah. Sebab, Amin tak memungkiri salah satu penyebab kualitas kredit di bank-bank negara memburuk adalah karena kewajiban menjalankan program pemerintah.

Baca Juga: Perbankan Genjot Penyaluran KPR FLPP

“Karena ini sifatnya kewajiban bagi bank milik negara, maka margin setipis apa pun juga tetap mereka laksanakan, dan ini makin menekan kinerja,” ujar Amin.

Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan mengungkapkan perbedaan ini tidak lepas dari fokus bank swasta yang konsisten pada efisiensi operasional dan selektivitas dalam penyaluran kredit.

Di sisi lain, bank-bank pelat merah wajib terlibat dalam program-program pemerintah, yang meskipun mendukung stimulus ekonomi nasional, keuntungannya tidak setinggi portofolio komersial.

Ditambah, segmen penerima program ini juga lebih sensitif terhadap perlambatan ekonomi dan tekanan daya beli, sehingga risiko kreditnya lebih tinggi. 

“Risiko gagal bayar juga menjadi tantangan tersendiri bagi mereka,” ujarnya.

Baca Juga: Bank Jakarta Catat Pertumbuhan Laba Bersih 24,42% pada Kuartal II-2025

Dengan kondisi tersebut, Ekky melihat ini sejalan dengan pergerakan harga saham bank negara yang labanya sedang tertekan juga mengalami penurunan harga.

Oleh karenanya, saat ini bank swasta terlihat menjadi pilihan yang lebih menarik bagi investor, terutama bagi mereka yang mencari kestabilan dan prospek jangka menengah yang kuat.




TERBARU

[X]
×