Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Fitri Arifenie
JAKARTA. Perbankan harus waspada. Sebab, rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) di sektor industri pengolahan dan manufaktur makin meningkat bahkan sudah di atas 10%.
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per April 2014, volume kredit yang dikucurkan oleh bank umum di sektor pengolahan sudah mencapai Rp 580,92 triliun atau tumbuh 26,86% year on year (yoy). Pada April tahun 2013 lalu, total kredit yang disalurkan oleh bank umum hanya Rp 457,90 triliun.
Porsi kredit di sektor industri pengolahan dibandingkan total kredit bank umum juga meningkat, dari 16,09% di April 2013 menjadi 17,14% di April 2014.
Sayangnya, pertumbuhan penyaluran kredit ini tak diimbangi dengan penurunan rasio kredit bermasalah. Di April 2013, NPL sektor industri pengolahan 9,80%. Tetapi, pada April 2014, NPL kredit sektor ini malah meningkat menjadi 11,55%.
Roy Armad Arfandy, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama Bank Permata mengakui, adanya tren peningkatan NPL kredit ke industri pengolahan. "Sektor industri pengolahan relatif baik walaupun secara makro mulai terdapat tanda-tanda NPL mulai meningkat," ujar Roy yang menolak menyebutkan angka NPL Bank Permata.
Budi Satria, Sekretaris Perusahan Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengatakan, BRI mampu menjaga level NPL industri pengolahan sebesar 2%. BRI menargetkan pertumbuhan kredit di sektor industri pengolahan tumbuh di kisaran 15%-17% pada tahun 2014. "Hingga Maret lalu, kredit BRI untuk sektor industri pengolahan meningkat 16% menjadi Rp 48 triliun," kata Budi.
David Sumual, pengamat perbankan menilai, perlambatan ekonomi dunia membuat order barang-barang hasil industri pengolahan dan manufaktur sepi. Dampaknya, pendapatan semakin tipis sehingga kemampuan membayar angsuran turun.
Dus, NPL pun naik. "Kenaikan ini sebetulnya sudah menjadi masalah serius sebab tingkat 11% sudah di atas batas maksimal NPL normal yakni 5%," kata David.
Penyebab lain yang membuat kantong pengusaha industri pengolahan cekak karena kalah bersaing di pasar global. Kenaikan upah buruh, tarif dasar listrik membuat barang-barang olahan dalam negeri sulit dilirik lantaran harga jualnya cukup tinggi.
Kenaikan angka NPL juga dipicu oleh tingginya ketergantungan industri pengolahan terhadap impor bahan baku. Dengan nilai tukar rupiah yang melemah membuat biaya produksi membengkak. "Sebanyak 80% dari total impor Indonesia adalah impor bahan baku," kata David.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News