kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,22   7,82   0.87%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

LBH Jakarta terima 500 pengaduan terkait fintech bermasalah


Rabu, 07 November 2018 / 23:07 WIB
LBH Jakarta terima 500 pengaduan terkait fintech bermasalah
ILUSTRASI. Ilustrasi Fintech


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menerima sekitar 500 pengaduan dari para peminjam uang berbasis fintech yang merasa dirugikan dari layanan online tersebut. Di antaranya proses penagihan yang bermasalah dengan mengakses data pribadi nasabah tanpa izin.

Pengacara Publik di Bidang Perkotaan dan Masyarakat LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan, fintech tersebut melakukan cara penagihan yang buruk dan cenderung melanggar tindak pidana. Seperti, menyebarkan data nasabah, dari isi kontak telepon, foto dan video peminjam kepada orang lain.

“Data itu kemudian disebarkan untuk menagih utang dan ini mempermalukan peminjam. Mereka menggunakan data itu untuk melakukan fitnah, penghinaan dan ancaman,” kata Jeanny kepada Kontan.co.id, Rabu (7/11).

Akibat hal tersebut, sejumlah nasabah merasa dirugikan dari kehilangan pekerjaan, stress dan diceraikan oleh pasangannya. Tidak hanya itu, penerapan bunga yang tinggi dari perusahaan fintech, membuat nasabah tidak melunasi pinjaman dan terpaksa melakukan pinjaman ke fintech lain. Rata-rata mereka harus meminjam kepada lebih dari satu perusahaan fintech demi melunasi utang.

“Mayoritas meminjam kepada tiga hingga 15 aplikasi fintech, karena bunga yang dikenakan perusahaan tersebut bisa berkali-kali lipat dan itu belum termasuk denda. Dalam kondisi tersebut mereka memilih untuk gali lobang untuk tutup lubang demi melunasi hutang,” ungkapnya.

Karena mayoritas peminjam tersebut berasal dari kalangan menengah ke bawah, yang menggunakan pinjaman tersebut demi memenuhi kebutuhan primer dan sekunder sehari-hari.

Rata-rata mereka adalah orang-orang sulit mendapatkan akses perbankan dan berasal dari pekerja informal yang gajinya minim. Mayoritas para pengadu ini bertempat tinggal di sekitaran wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).

“Pinjaman yang diperoleh bukan untuk konsumtif, tapi kebutuhan primer dan sekunder, seperi biaya pengobatan dan kebutuhan hidup sehari-hari,” tuturnya.

Di samping itu, LBH Jakarta juga menemukan informasi bahwa pelanggaran tersebut tidak hanya dilakukan oleh perusahaan fintech ilegal tetapi juga legal, atau sudah mendapatkan izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Selain melakukan pelaporan ke LBH Jakarta, sejumlah nasabah juga telah melakukan pengaduan kepada pihak kepolisian dan OJK. Sayangnya, pengaduan kepada dua lembaga tersebut tidak direspon dan ditindak secara serius.

“Ada nasabah yang melapor ke Polda Metro Jaya tapi tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian, bahkan sampai lapor dan demo ke OJK. Tapi pihak OJK tidak merespon dan melakukan tindak lanjut,” ungkapnya.

Adapun data sekitar 500 pengaduan ke LBH Jakarta terhitung dari dari tahun 2016 hingga awal November 2018. Pengaduan ini, ada yang dilakukan atas nama pribadi maupun kelompok.

Bunga tinggi

Meski sejumlah nasabah yang dirugikan melakukan pelaporan kepada LBH Jakarta, tapi masih banyak korban lain memilih tidak melapor. Sebut saja Pipih, yang sempat meminjamnya uang kepada fintech bernama TangBull sebesar Rp 1,5 juta untuk biaya berobat ke Rumah Sakit.

Namun, setelah melunasi jumlah utang tersebut beserta bunganya, nilai pinjaman Pipih di aplikasi TangBull tidak berkurang justru makin bertambah sekitar Rp 30 ribu per hari. Karena panik pipih segera meminta penjelasan ke customer service tapi baru bisa diselesaikan 14 hari kemudian.

“Kalau menunggu 14 hari, utangnya bertambah banyak, padahal saya sudah bayar lunas. Saya jadi pusing dan takut, makanya saya hubungi kontak maupun sosial media TangBull,” tuturnya.

Bukannya masalah selesai, ia justru dihubungi seorang wanita dan diminta melunasi utang ke TangBull secara paksa.

Wakil Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengaku bahwa perusahaan fintech TangBull sebagai perusahaan ilegal dan tidak terdaftar di OJK. Biasanya fintech ilegal mengadopsi proses penagihan yang bermasalah.

“Di masa awal, kami mengakui fintech ilegal mengakses kontak dan mempermalukan nasabah untuk melakukan penagihan. Hal itu tidak sesuai dengan etika ketimuran dan kode etik fintech fintech yang juga melarang penagihan seperti itu,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×