Reporter: Roy Franedya |
JAKARTA. Pembobolan dana nasabah Citigold, layanan premium Citibank, terus menjadi buah bibir. Publik heran tentang pelanggaran standard operating procedure (SOP) dalam bisnis ini. Tapi, meski menjadi sorotan, kejadian di bank asing itu tak lantas membuat bisnis wealth management kehilangan pamor.
Direktur Konsumen dan Ritel Bank BNI Darmadi Sutanto mengatakan, nasabah wealth management adalah nasabah sophisticated yang punya pengetahuan lebih baik ketimbang masyarakat awam.
Pada dasarnya, pengelolaan dana nasabah kelas atas ini tidak memberikan peluang terjadinya penyimpangan, karena bank menerapkan SOP ketat. Baik dari sisi hubungan bank dengan nasabah, maupun masa kerja petugas bank.
Di Bank BNI, misalnya, rotasi petugas di produk ini maksimal dua tahun sekali. Mereka juga dilarang menerima blanko kosong yang ditandatangani nasabah. "Ini untuk mitigasi risiko. Kami juga audit laporan secara berkala," tambah Darmadi.
Saat transfer dana dalam jumlah besar, BNI menerapkan sistem call back. Maksudnya, bank menelpon kembali nasabah untuk memastikan kebenaran transfer tersebut. "Kami juga mengirim laporan kondisi dana setiap bulan, sekalipun nasabah menolak," ujarnya. Saat ini, dana kelolaan wealth management BNI di atas Rp 20 triliun. Tahun ini ditargetkan tumbuh 20%.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga mengaku menerapkan kontrol berlapis. Sekretaris Perusahaan BRI Muhamad Ali mengatakan, SOP prority banking BRI ketat. Transaksinya berjenjang.
Alurnya begini. Pertama, nasabah yang ingin mengambil atau menyimpan dana harus mengisi formulir. Teller kemudian mengecek keabsahan berkasnya itu. Kedua, unit lain di BRI akan mengecek validitas transaksi. Ketiga, eksekusi. "Ketiga tingkatan ini ditangani orang yang berbeda," terang Muhamad Ali.
Dalam mengawasi petugas priority banking, BRI juga melakukan audit internal secara berkala. Audit pasif sebulan sekali dan audit aktif setiap 6 bulan sekali. BRI juga merotasi karyawan setiap 1-2 tahun. "Untuk memastikan agar tidak ada main mata dengan nasabah atau pegawai tergiur berbuat jahat," terangnya. Akhir tahun lalu, dana kelolaan priority banking BRI Rp 10 triliun dan tahun ini ditargetkan tumbuh 30%.
Mengenai tudingan priority banking sebagai wadah pencucian uang, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Laporan Keuangan (PPATK) Yunus Husein tidak terlalu yakin. Menurutnya, Bisnis ini sulit menjadi tempat pencucian uang karena konsepnya sangat private dan mengedapankan know your costumer level tinggi.
Tetapi, penyimpangan bisa saja terjadi jika bank terlalu percaya kepada petugas atau nasabah. Hingga kini PPATK melaporkan 1.000 lebih transaksi mencurigakan dalam perbankan. "Dalam pelaporan kami tidak membedakan apakah bisnis priority banking atau tidak karena formulirnya standar," ujar Yunus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News