Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. PT Bank Muamalat Indonesia Tbk dan PT Bank Bukopin Tbk mengikat kerjasama gadai alias repurchase agreement (repo) syariah senilai Rp 100 miliar. Ini merupakan kerjasama repo syariah pertama antar bank konvensional dan syariah pasca aturan Bank Indonesia Nomor 17/4 PBI 2015 tentang pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS).
Perjanjian repo antar kedua bank sejatinya baru bersifat pembukaan fasilitas dan belum ke tahap eksekusi. "Istilahnya, kami menciptakan fasilitasnya dahulu. Tapi belum dipakai," ujar Purnomo Soetadi, Direktur Bisnis Ritel Bank Muamalat Indonesia, Rabu (27/7).
Purnomo menambahkan, rasio likuiditas Bank Muamalat hingga saat ini masih cukup aman. Posisi financing to deposit ratio (FDR) Bank Mualamat, saat ini tercatat sekitar 90%. Kedua bank tersebut berharap, kerjasama itu juga dapat menggerakan volume dan frekuensi perdagangan surat berharga syariah negara (SBSN) di pasar sekunder, di samping mengantisipasi kebutuhan likuiditas perbankan syariah.
“Sejak dikeluarkan Juni 2015, sampai akhir semester pertama 2016, belum ada perbankan yang melakukan repo syariah” terang Indra Yurana Sugiarto, Direktur Korporasi dan Komersial Bank Muamalat Indonesia.
Sementara, Direktur Keuangan dan Perencanaan Bank Bukopin Eko R. Gindo mengatakan, transaksi repo ini akan mengikuti aturan pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah dengan janji pembelian kembali untuk jangka waktu sampai satu tahun.
“Satu tahun dahulu. Biasanya diperpanjang lagi setelah itu,” imbuh Eko.
Eko mengatakan, FDR perbankan syariah lebih tinggi ketimbang bank konvensional. Oleh sebab itu Bank Bukopin siap membantu kebutuhan likuiditas perbankan syariah, dalam hal ini Bank Muamalat.
Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (BI) Anwar Bashori menambahkan, ke depan potensi keuangan syariah akan lebih baik. Sebab, pangsa pasar sukuk negara terhadap total obligasi negara dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terus meningkat.
“Sekarang (sukuk negara) sudah mencapai 14%–15% dari total surat berharga negara,” imbuh Anwar. Untuk transaksi di pasar uang syariah, lanjut Anwar, nilainya saat ini masih berada di bawah Rp 1 triliun. Adapun instrumen sertifikasi investasi mudharabah antar bank, paling laris dipakai oleh pelaku pasar.
“Ini karena kebutuhan juga terbatas. Kalau Bank Bukopin dan Muamalat, instrumennya SBSN. Itu mereka yang sepakati,” ujar Anwar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News