Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah bank kecil di kelas bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1, dan BUKU 2 pasrah tak punya ruang gerak terkait perluasan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam intervensi lembaga jasa keuangan (LJK) melakukan konsolidasi, termasuk kepada perbankan.
Via Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan COVID-19, OJK diberi perluasan kewenangan untuk dapat memberi perintah konsolidasi, baik berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi kepada LJK secara tertulis.
Baca Juga: Upaya OJK pertahankan kekuatan perasuransi dari ancaman dampak wabah corona
Sebelum beleid ini terbit, intervensi OJK terkait konsolidasi di industri perbankan terbatas pada imbauan. Merujuk POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum, imbauan tersebut mesti didasari oleh statusnya: bank dalam pengawasan intensif (BDPI) selama 12 bulan, dan bank dalam pengawasan khusus (BDPK) selama 3 bulan setelahnya.
Kedua status tersebut menandakan bank memiliki potensi membahayakan terhadap kelangsungan usahanya, maupun LJK lainnya.
Ada sejumlah indikator yang jadi acuan OJK menyematkan status bank baik berupa BDPI, maupun BDPK. Misalnya capital adequacy ratio (CAR) berada di bawah 8%, non performin loan (NPL) lebih dari 5%, kemudian rasio modal inti, giro wajib minimum (GWM) dan kesehatan bank kurang dari yang ditentukan.
“Perppu ini jadi jadi dasar kerangka hukum bagi OJK, karena jika mengikuti ketentuan dalam kondisi normal, kami butuh waktu untuk BDPI selama 12 bulan, kemudian BDPK selama 3 bulan. Di tengah wabah COVID-19, Perppu ini merupakan antisipasi agar OJK bisa lebih preemptive melakukan supervisory action,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam konferensi pers daring, Minggu (5/4).
Baca Juga: Laba BCA di bulan Februari 2020 turun akibat meningkatnya pencadangan
Meski demikian, Wimboh tak merinci apa kriteria LJK yang dapat dipaksa berkonsolidasi. Pun dalam beleid COVID-19 tersebut tak ada indikasi jelas yang dijabarkan.
Wimboh cuma menjelaskan, bank bisa dipaksa untuk melakukan konsolidasi jika membukukan kerugian, memiliki arus kas yang negatif, likudiitas ketat, hingga berpotensi mengganggu kesehatan bank lainnya.
“Tanpa adanya Perppu 1/2020, kami memang mendorong konsolidasi. Sementara Perppu ini hadir, agar OJK punya dapat melakukan penyehatan lebih awal, bank kecil maupun besar sama saja, semuanya bisa terganggu akibat COVID-19. Kami juga akan tetap melakukan due diligence secara ketat,” sambung Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana dalam kesempatan serupa.
Sayang Heru juga tak merinci apakah apakah uji kelaiakan (due diligence) akan berlangsung seperti biasa, atau ada perubahan mekanisme. Meski demikian, keduanya sepakat intervensi konsolidasi merupakan aksi terakhir yang akan diambil OJK dalam menindak, dan mengawasi industri perbankan pada situasi wabah COVID-19.
Baca Juga: Laba bersih Bank Negara Indonesia (BBNI) di Februari melesat 27,7%
Sialnya, jika akhirnya OJK mengintervensi bank untuk melaksanakan konsolidasi, bank tak dapat berbuat apapun, selain mematuhinya. Sebab, ada kekebalan hukum absolut. Baik secara perorangan, maupun lembaga, OJK tak dapat digugat secara hukum baik perdata maupun pidana. Pun kebijakan tersebut tak dapat dijadikan objek sengketa di pengadilan tata usaha negara.
Ketentuan tersebut juga ditambah sanksi pidana, bagi perorangan yang tak mematuhinya berupa pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 12 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 10 miliar dan paling banyak Rp 300 miliar. Sementara jika pelanggaran dilakukan korporasi akan dikenakan pidana denda paling sedikit Rp 1 triliun.
Ketentuan ini yang kemudian bikin perbankan mau tak mau mesti pasrah jika kelak dipaksa untuk melakukan konsolidasi. Sebagai catatan, sebelum Perppu tersebut terbit, OJK juga terlebih dahulu telah menerbitkan POJK 12/POJK/03/2020 tentang konsolidasi bank. Via beleid ini, bank ditentukan mesti punya modal inti minimum Rp 1 triliun tahun ini. Nilai tersebut bertahap ditingkatkan menjadi Rp 2 trilin pada 2021, dan Rp 3 triliun pada 2022.
“Sejauh ini kami memang belum menyeluruh membaca Perppu 1/2020 tersebut. Pada dasarnya kami percaya dalam menetapkan kebijakan, pemerintah pasti sudah mempunyai pertimbangan yang matang dengan memperhitungkan semua faktor,” kata Direktur Utama PT Bank Artos Indonesia Tbk (ARTO) Deddy Triyana kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Bank Mandiri terbitkan obligasi berdenominasi rupiah sebesar Rp 1 triliun
Pascaakuisisi oleh Jerry Ng melalui PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia dan Patrick Waluyo via Wealth Track Technology limited, modal inti perseroan sejatinya telah meningkat pesat. Akhir tahun lalu modal inti Bank Artos tercatat senilai Rp 662,11 miliar, meningkat lebih dari tujuh kali lipat dibandingkan posisi September 2019 senilai Rp 85,33 miliar.
Kini Bank Artos juga tengah menyiapkan aksi penambahan modal melalui rights issue untuk menghimpun dana hingga Rp 1,5 triliun. Selain guna memenuhi ketentuan modal inti tersebut, aksi ini dilakukan agar perseroan bisa naik kelas ke BUKU 2 dengan modal inti di atas Rp 1 triliun.
Adapun tahun lalu, perseroan juga masih mencatat peningkatan rugi bersih senilai Rp 121,96 miliar. Nilai tersebut meningkat lebih dari lima kali lipat dibandingkan rugi bersih pada 2018 senilai Rp 23,28 miliar.
Baca Juga: Wamen BUMN Kartika: 93.400 debitur BBRI lakukan restrukturisasi kredit
Direktur utama PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (BEKS) Fahmi Bagus Mahesa pun menyatakan hal senada. Ketentuan dalam Perppu COVID-19 tersebut memang tak memberi ruang bagi bank yang kelak dipaksa melakukan konsolidasi.
“Dalam krisis, upaya terbaik memang mesti diambil pemerintah untuk kepentingan yang lebih besar. Namun, kami memahami bahwa dalam pelaksanaannya perlu dilakukan dengan seksama serta didasari dengan tujuan yang baik, yaitu menjaga stabilitas ekonomi melalui sektor industri perbankan,” ujarnya kepada Kontan.co.id.
Tahun lalu kinerja perseroan juga masih memburuk dengan mencatat rugi bersih Rp 137,55 miliar. Meningkat 37,37% (yoy) dibandingkan rugi bersih pada 2018 senilai Rp 100,13 miliar. Modal inti perseroan juga tercatat merosot 53,86% (yoy) dari Rp 334,07 miliar pada 2018 menjadi Rp 154,13 miliar pada akhir tahun lalu.
Baca Juga: Laba Bank Rakyat Indonesia (BBRI) tumbuh melambat Februari 2020
Menyiasati hal tersebut, kini perseroan juga tengah menyiapkan aksi rights issue untuk mempertebal permodalan. Perseroan akan menerbitkan 400 miliar saham baru bernominal Rp 3 per lembar. Pascaaksi, Bank Banten menargetkan bakal dapat tambahan modal maksimum hingga Rp 1,2 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News