Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Bisnis fintech peer to peer lending semakin bertumbuh sejak pertama industri ini diatur oleh Otortitas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2016 lalu.
Hingga Oktober 2019, realisasi akumulasi pinjaman P2P lending tumbuh 200,01% ytd mencapai Rp 67,99 triliun. Pinjaman tersebut disalurkan dari 144 entitas P2P lending terdaftar dan diawasi oleh regulator.
Baca Juga: Komisaris BTN belum jalani fit and proper test, begini penjelasan OJK
Melihat perkembangan industri pinjam meminjam berbasiskan digital ini, OJK mempertimbangkan untuk membatasi jumlah pemain. Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi bilang dari jumlah tersebut terdapat 13 entitas yang sudah mendapatkan izin penuh. Ia berharap kedepannya masih akan bertambah.
“Kita evaluasi bagaimana mereka (P2P lending) menjalankan bisnisnya, sesuai dengan ketentuan, market conduct-nya, peran dari asosiasi juga jadi masukan. Tapi kalau lihat jumlahnya, ini kan digital, bisa cover dimana pun. Mau dia di Jakarta, dia bisa cover Aceh sampai Papua. Sama-sama dengan asosiasi kita sedang mereview, cukup ngga jumlah pemainnya?” ujar Riswinandi di Jakarta pada Rabu (11/12).
Riswinandi menyatakan bisa saja nantinya jumlah pemain p2p lending dibatasi. Kendati demikian, jumlah idealnya masih dipelajari oleh OJK dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Lanjut Ia dengan skema bisnis yang hampir sama, OJK fokus mengaji sejauh mana jumlah P2P lending yang sudah bisa memenuhi kebutuhan pendanaan bagi masyarakat yang unbankable dan undeserved.
Baca Juga: Setelah reksadana dan asuransi, Tanamduit akan menggarap bisnis jual beli emas
Sejalan dengan itu, Riswinan menyatakan OJK juga mereview dan memperbaiki peraturan dan implementasinya. Mulai dari alur pendaftarannya, entry stage-nya, dan bagaimana pengawasannya. Selain itu pedoman perilaku atau market conduct asosiasi juga akan kembali direview oleh regulator.
Riswinandi menyebut aturan mengenai bisnis ini yang tertuang dalam beleid POJK Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi juga tengah ditinjau ulang. Namun Ia belum bisa menyampaikan poin-poin apa saja lantaran masih dalam tahapan diskusi dengan AFPI.
Ia menekankan OJK ingin memastikan penggunaan teknologi bisa benar-benar melindungi konsumen baik pemberi pinjaman (lender) maupun penerima pinjaman (borrower). Ia ingin konsumen P2P lending semakin paham risiko, hak, dan kewajiban ketika menggunakan produk P2P lending.
Baca Juga: Dari lokal sampai asing, musim akuisisi bank ramai terjadi di akhir tahun
“Kembali lagi, sisi borrower juga harus ada sosialisasi kepada mereka. Arinya, waktu mereka mau meminjam itu harus tau apa yang harus dijalankan dan dilakukan. Periksa dulu di OJK, platform mana saja yang sudah terdaftar. OJK sendiri juga mencoba untuk memperbaiki,” jelas Riswinandi.
Sedangkan terkait proyeksi pinjaman P2P lending tahun depan, OJK lebih fokus pada prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Adapun tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman (TWP) 90 hari di level 97,16%. Artinya hanya 2,84% dari pinjaman yang disalurkan tidak kembali kepada pemberi pinjaman dalam kurung waktu 90 hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News