Reporter: Ferry Saputra | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman daring (pindar) menjadi pelapor Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) mulai 31 Juli 2025. Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Ismail Riyadi mengatakan kewajiban itu sebagai salah satu bentuk penguatan manajemen risiko di industri fintech lending.
"OJK telah menetapkan bahwa mulai 31 Juli 2025, penyelenggara pindar wajib menjadi pelapor SLIK, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 Tahun 2024," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (18/6).
Lebih lanjut, Ismail menerangkan informasi SLIK dapat menjadi salah satu bahan masukan untuk menilai kelayakan calon debitur yang akan mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan oleh lembaga jasa keuangan Indonesia.
Baca Juga: OJK: Roadmap Fintech Lending Punya Konsep yang Jelas dan Diatur Bersama Industri
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman sempat menyebut penyelenggara fintech lending belum sepenuhnya menerapkan penggunaan SLIK.
"Hal itu sehubungan dengan kewajiban pelaporan SLIK oleh penyelenggara fintech lending yang berlaku paling lambat tanggal 31 Juli 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK (POJK) 11/2024," ucapnya dalam lembar jawaban RDK OJK, Rabu (4/6).
Agusman mengatakan penggunaan SLIK dan Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) 2.0 oleh penyelenggara fintech lending nantinya diharapkan akan meningkatkan kualitas data transaksi pendanaan. Diharapkan juga dapat memperkuat sistem credit scoring yang dapat membantu menurunkan tingkat wanprestasi atau TWP90 dan meningkatkan perlindungan konsumen.
Lebih lanjut, Ismail mengatakan upaya lain yang perlu dilakukan fintech lending terkait penguatan manajemen risiko, yaitu memperketat prinsip repayment capacity (pembayaran kembali) dan electronic Know Your Customer (e-KYC) sebagai dasar pemberian pendanaan atau pinjaman.
"Hal itu diharapkan dapat memperkuat mitigasi risiko terhadap pemberi dana (lender) dalam platform fintech lending dan memitigasi meningkatnya jumlah penerima dana (borrower) yang tidak melakukan pembayaran atau gagal bayar," ucapnya.
Ismail menjelaskan penegasan itu sejalan dengan ketentuan dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).
Melalui ketentuan tersebut, Ismail menyampaikan penyelenggara fintech lending diwajibkan melakukan penilaian kelayakan pendanaan (credit scoring) dan kesesuaian antara jumlah pinjaman yang diajukan dengan kemampuan finansial borrower. Selain itu, dia bilang penyelenggara fintech lending dilarang memfasilitasi pendanaan kepada borrower yang telah menerima pembiayaan dari tiga penyelenggara, termasuk dari penyelenggara itu sendiri.
Dengan langkah-langkah penguatan manajemen risiko tersebut, OJK berharap industri fintech lending dapat makin sehat, transparan, dan akuntabel, serta membantu kebutuhan masyarakat, termasuk untuk pembiayaan produktif.
Apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku, Ismail menyampaikan OJK akan melakukan langkah penegakan kepatuhan (enforcement) sesuai ketentuan yang berlaku.
Baca Juga: Samir: Penggunaan SLIK di Industri Fintech Lending Beri Dampak Positif
Selanjutnya: Japfa & Imperial Group Gelar Clash of Flavours, Dorong Inovasi Kuliner Berkelanjutan
Menarik Dibaca: Promo PSM Alfamart Periode 16-23 Juni 2025, Lifebuoy Cair Diskon hingga Rp 14.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News