Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kasus perselisihan proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT Bank Commonwealth pasca aksi akuisisi oleh Bank OCBC NISP masih belum selesai hingga saat ini. Bahkan Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) bakal menempuh upaya hukum perdata dan pidana untuk memperjuangkan hak pekerja yang tidak diberikan.
Pasalnya dari 1.146 pekerja yang di-PHK, masih ada 8 orang pekerja yang menolak proses PHK secara sepihak, karena dalam hal ini selama proses skorsing sejak 29 Agutus 2024, banyak hak-hak pekerja yang tidak diberikan secara penuh oleh perusahaan.
Padahal sejak 1 September 2024 lalu operasionaliasi Bank Commonwealth telah berhenti, dan saat ini diambil alih oleh OCBC. OPSI mengatakan, harusnya dengan demikian segala sesuatu hal yang berasal dari bank sebelumnya, maka berpindah ke pihak OCBC sebagaimana aturannya, termasuk status kepegawaian dari 8 pekerja yang dianggap saat ini adalah karyawan OCBC NISP.
Baca Juga: Ini Daftar 39 Bank di Indonesia yang Dikuasai Investor Asing
Beberapa hak normatif pekerja yang dinegosiasikan oleh OCBC adalah hak atas jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan yang tidak lagi didaftarkan sebagai pekerja penerima upah (PPU). Adapun sikap Manajemen OCBC tersebut disampaikan dan ditegaskan oleh kuasa hukum Perusahaan pada pertemuan bipartite Selasa tanggal 24 September 2024 lalu.
"Kami tegas menolak sikap Manajemen OCBC tersebut karena sudah menyalahi hukum positif yang berlaku. OCBC tidak mau mendaftarkan 8 pekerja sebagai PPU tetapi meminta para pekerja untuk mendaftarkan sendiri sebagai peserta bukan penerima upah (PBPU) atau yang biasa disebut sebagai peserta mandiri. Tentunya dengan sikap Manajemen OCBC ini maka para pekerja serta kedua Institusi BPJS akan dirugikan,” ungkap Saepul Tavip, Presiden Dewan Eksekutif Nasional OPSI dikutip dalam siaran pers, Kamis (26/9).
Lebih jauh OPSI menjelaskan beberapa hal yang dianggap menyalahi hukum. Pertama, untuk kepesertaan di Program JKN, pihak Perusahaan tidak mau mendaftarkan 8 pekerja sebagai PPU yang wajib membayar iuran 5% ke BPJS Kesehatan (pihak Perusahaan membayar 4% dan pekerja 1% dari maksimal upah Rp 12 juta), namun Perusahaan hanya membayar 4% kewajiban iurannya kepada para pekerja, dan pekerja disuruh mendaftar sebagai peserta mandiri.
Tindakan Manajemen ini sudah menyalahi regulasi UU SJSN dan Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Program JKN, yang mewajibkan Perusahaan mendaftarkan pekerjanya sebagai PPU. Dengan tindakan manajemen ini maka pekerja dan keluarganya akan dirugikan, termasuk BPJS Kesehatan.
Dengan kepesertaan PPU di BPJS Kesehatan maka pekerja akan tetap menjadi peserta Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang elibible. Namun bila peserta sebagai PBPU atau mandiri maka ke-8 pekerja akan tidak menjadi peserta JKP lagi. Dampaknya ketika nanti PHK sudah selesai prosesnya, pekerja tidak berhak atas 3 manfaat program JKP yaitu uang tunai maksimal 6 bulan, manfaat pelatihan, dan manfaat informasi pasar kerja.
Kedua, untuk jaminan sosial ketenagakerjaan yaitu Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, pihak Perusahaan pun juga tidak mau mendaftarkan ke-8 pekerja sebagai PPU tetapi disuruh mendaftar sendiri sebagai PBPU (mandiri) walaupun kewajiban iuran Perusahaan ditransfer ke rekening pekerja.
Tindakan Manajemen ini pun dianggap sangat merugikan pekerja dan keluarganya serta merugikan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan menjadi PBPU (Mandiri) maka ke-8 pekerja tidak dapat melanjutkan kepesertaan JP dan JKP.
Sementara dengan menjadi peserta mandiri di program JKK, JKm dan JHT maka pekerja tidak terdaftar lagi sebagai peserta JKP yang eligible sehingga ketika PHK selesai mereka tidak mendapatkan manfaat JKP.
Dana Tabungan pekerja pun di Program JHT yang seharusnya ditambah tiap bulan sebesar 5,7% dari upah riil maka dengan menjadi peserta mandiri Tabungan peserta akan menjadi jauh lebih sedikit yang ditabung di Program JHT.
Bahwa faktanya para pekerja mendapatkan surat skorsing dan tetap mendapatkan upah, dan oleh karenanya ke-8 pekerja tersebut secara hukum WAJIB terdaftar sebagai PPU di BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, dengan mengacu pada dasar hukum UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, serta regulasi turunannya yaitu Perpres No. 82 Than 2018 tentang JKN, PP no. 44 tahun 2015 tentang JKK-JKm, PP No. 45 Tahun 2015 tentang JP, PP No. 46 Tahun 2015 tentang JHT, dan PP No. 37 tahun 2021 tentang JKP.
Selain bentuk-bentuk pelanggaran di atas, terjadi juga pelanggaran terhadap suku bunga pinjaman karyawan yang semula hanya 3,75%, saat ini berubah menjadi 14,25% per anum. Padahal sudah disepakati bahwa suku bunga pinjaman tidak berubah. Jelas ini merupakan indikasi tindak pidana penggelapan. Belum lagi dengan bonus kinerja yang tidak diberikan serta hilangnya sejumlah tunjangan tetap yang biasanya diterima oleh para Pekerja tersebut.
”Dengan tindakan sepihak dari Manajemen PT. Bank OCBC NISP ini maka kami akan menempuh upaya hukum perdata dan pidana,” ungkap Timbul.
Baca Juga: Bisnis wealth management BCA, Bank Commonwealth dan OCBC NISP makin tumbuh subur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News