kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Opsi Demutualisasi Mencuat untuk Obati AJB Bumiputera yang Babak Belur


Kamis, 18 Juli 2024 / 15:45 WIB
Opsi Demutualisasi Mencuat untuk Obati AJB Bumiputera yang Babak Belur
ILUSTRASI. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) berpotensi mengambil opsi demutualisasi untuk menyehatkan keuangan perusahaan.


Reporter: Ferry Saputra | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) berpotensi mengambil opsi demutualisasi untuk menyehatkan keuangan perusahaan. Skema itu juga tercantum dalam revisi Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) dan telah diatur dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera. 

Sebenarnya skema demutualisasi itu sempat bergulir pada tahun lalu. Salah satunya karena adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 7 Tahun 2023 yang memberikan kewenangan bagi OJK bisa mengubah anggaran dasar perusahaan asuransi. 

Dalam POJK tersebut, AJB Bumiputera bisa menerapkan opsi demutualisasi atau mengubah bentuk badan hukumnya. Adapun penerbitan POJK Nomor 7 Tahun 2023 merupakan amanat dari UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dalam Bagian Kelima BAB VII UU P2SK, tertera bahwa usaha bersama bisa mengubah bentuk badan hukum menjadi perseroan terbatas.

Mengenai hal itu, Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menyebutkan, sebenarnya opsi demutualisasi memang dimungkinkan oleh Anggaran Dasar AJB Bumiputera (Pasal 40) dan dipertegas dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK. 

"Adapun demutualisasi merupakan jalan keluar dan diyakini dapat menyehatkan AJB Bumiputera dengan adanya suntikan modal dari luar atau investor," ucapnya kepada Kontan, Rabu (17/7).

Baca Juga: Pengamat Ini Menyebut, Masalah AJB Bumiputera Disebabkan Salah Asuh dan Salah Kelola

Menurut Irvan, demutualisasi akan berdampak positif bagi pemegang polis yang selama bertahun-tahun  menghadapi kesulitan pembayaran dari AJB Bumiputera. Sebab, perusahaan tersebut juga mengalami  kesulitan likuiditas dan solvabilitas.

Namun, Irvan tak memungkiri terdapat kerugian yang bisa dirasakan para pemegang polis terkait opsi demutualisasi. Dia bilang bagi pemegang polis yang berpandangan bahwa mereka juga sebagai pemilik perusahaan, tentu akan kehilangan status tersebut karena perusahaan akan dimiliki oleh investor. 

"Kecuali, pemegang polis akan ikut sebagai investor baru," ungkapnya.

Irvan berpendapat dengan skema mutual yang akan dijalankan terlebih dahulu dan sudah ditetapkan manajemen dalam revisi RPK, tidak akan mampu mengatasi kesulitan likuiditas dan solvabilitas. Dia bilang hal itu juga sudah terbukti selama ini.

"Opsi mutual bisa saja berjalan, dengan catatan perusahaan berupaya mencairkan atau menjual sejumlah aset perusahaan yang sudah direncanakan di dalam RPK terbaru," ujarnya.

Namun, Irvan mengatakan hal itu terasa berat. Selain itu, dia menyampaikan apabila dilakukan demutualisasi, pemegang polis juga harus bisa memastikan hak-haknya sebagai pemegang polis nantinya dibayar penuh.

Lebih lanjut, Irvan membeberkan opsi demutualisasi bisa diawali dengan menggandeng strategic partner terlebih dahulu. Dia menerangkan hal itu sudah pernah dilakukan Bumiputera pada 2020, yakni menggandeng Sinar Mas membentuk PT Bumiputera (run off Bumiputera 1912). 

"Akan tetapi, tidak berlanjut karena adanya ketidaksepahaman dengan manajemen Bumiputera. Oleh karena itu, partner tersebut akhirnya berubah menjadi Bhinneka Life yang masih beroperasi hingga sekarang," tuturnya.

Irvan menyampaikan ada juga dampak positif dan negatif yang akan dirasakan manajemen Bumiputera apabila memilih opsi demutualisasi. Dampak negatifnya bagi manajemen Bumiputera, tentu pengurus nanti tak bisa hanya menjabat dengan menyandang status saja.

Ia menyebut nantinya mereka tidak lagi hanya berbekal sebagai pemegang polis Bumiputera, tetapi harus punya profesionalitas dan integritas sebagai eksekutif. Sebab, tidak lagi ditentukan oleh Rapat Umum Anggota (RUA), melainkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang lebih luas.

"Positifnya, mereka akan memiliki legitimasi yang lebih luas dari investor eksternal bukan hanya dari segelintir anggota RUA," katanya.

Sementara itu, Pengamat Asuransi Ana Mustamin mengatakan yang membuat kondisi Bumiputera babak belur sekarang bukan berasal dari bentuk badan usahanya. Dia bilang salah satu faktor utamanya, yakni adanya salah asuh dan salah kelola perusahaan.

"Mutual itu bukan pilihan buruk. Perusahaan asuransi terkemuka dan menempati top 10 di dunia, hampir semuanya berbentuk mutual. Bumiputera babak belur karena salah asuh oleh regulator. Sebab, perusahaan mutual diperlakukan sama dan sebangun dengan perseroan terbatas, padahal karakternya berbeda," katanya kepada Kontan, Rabu (17/7).

Ana berpendapat akibat salah asuh, kemudian menimbulkan salah kelola oleh manajemen. Kesalahan itu dinilainya karena harus memenuhi tuntutan regulator. 

Misalnya, dia menerangkan terkait ukuran kesehatan perusahaan, memang seharusnya diperlakukan berbeda. Akibat tuntutan permodalan itu, manajemen Bumiputera dianggapnya melakukan manuver-manuver yang membuat perusahaan merugi.

"Lebih parah lagi ketika OJK menerjunkan Pengelola Statuter (PS), yang sama sekali enggak paham persoalan Bumiputera dan tata cara pengoperasian perusahaan mutual," ujarnya.

Baca Juga: Terkait Penyehatan Keuangan, AJB Bumiputera Berpotensi Ambil Opsi Demutualisasi

Ana bilang kebijakan Pengelola Statuter untuk melakukan run-off selama 2 tahun dan memindahkan sumber daya manusia Bumiputera ke Bhinneka Life adalah tindakan fatal. Dengan demikian, membuat Bumiputera kehabisan darah sehingga tidak bisa lagi bernafas.

Dia menjelaskan sebelum Pengelola Statuter masuk ke Bumiputera, tentunya perusahaan itu tidak pernah punya sejarah gagal bayar terhadap pemegang polis.

"Jadi, saran saya, kalau mau menyehatkan Bumiputera, hal pertama yang harus dilakukan manajemen maupun regulator, yakni sebaiknya melihat benchmark ke negara-negara yang perusahaan mutual yang kinerjanya moncer. Mempelajari dalam hal model bisnis mereka dan mengukur kesehatan keuangan perusahaan mutual," kata Ana.

Selain itu, Ana menganggap dalam permasalahan Bumiputera, OJK tidak boleh lepas tangan seolah-olah semua persoalan yang ada sekarang merupakan kesalahan manajemen. Dia menilai OJK punya andil besar membuat Bumiputera rusak melalui kebijakan yang diambil Pengelola Statuter.

Ana menyampaikan OJK sebenarnya sudah pernah mencoba melakukan demutualisasi Bumiputera melalui penunjukan Pengelola Statuter pada 2016. Saat itu, dia bilang direksi Bumiputera dinonaktifkan, lalu diganti Pengelola Statuter untuk memuluskan jalan demutualisasi. 

"OJK juga menunjuk konsorsium konsultan di bawah komando Paribas International untuk mengawal proses tersebut. Mulai dari konsultan hukum, pasar modal, marketing, aktuaria, properti, SDM, hingga komunikasi. Hasilnya? Gagal total," ungkapnya.

Ana menganggap Pengelola Statuter bahkan menyisakan pekerjaan rumah terhadap Bumiputera hingga masih dirasakan sampai sekarang.

Selain itu, Ana juga menjelaskan UU P2SK, khususnya Bab VII tentang Usaha Bersama, dibuat untuk mempertahankan mutual. Namun, hal itu terbalik dengan keputusan manajemen dalam RPK, yang mana malah mau didemutualisasi. 

"Katakan demutualisasi berhasil, lalu amanah Bab VII mau diapakan? Apakah ada investor yang mau masuk ke Bumiputera dalam kondisi babak belur seperti itu? Logikanya, tetap harus disehatkan dahulu. Selanjutnya, kalau perusahaan mutual itu berhasil disehatkan, lalu untuk apa didemutualisasi?" ungkapnya.

Ana Mustamin menyebut keinginan mendemutualisasi itu menunjukkan bahwa baik manajemen yang mengelola Bumiputera sekarang, maupun regulator, tidak memahami persoalan perusahaan dan hakikat mutual.

"UU P2SK sudah ada. Ada bab yang mengatur tentang mutual. Namun, apakah pemerintah sudah membuat peraturan turunannya? Katakan ada opsi yang memberi pintu untuk demutualisasi, lalu dengan cara apa? Bagaimana hak-hak pemegang polis sebagai pemilik perusahaan dikonversi jadi saham? Sebab, perusahaan berubah jadi perseroan terbatas," katanya. 

Sementara itu, salah satu pemegang polis Bumiputera, Wina Yunariati, mengaku belum mendapatkan pembayaran klaim sampai saat ini.

"Terdapat 2 polis yang jatuh tempo dan sejak 2018 belum dibayarkan sampai sekarang. Nominal keduanya Rp 35 juta," ungkapnya kepada Kontan, Rabu (17/7).

Wina menerangkan sempat ada pendataan yang dilakukan pihak Bumputera pada tahun lalu, tetapi belum ada kelanjutannya sampai saat ini. Dia bilang pendataan tersebut menerangkan klaim yang dijanjikan akan cair, tetapi cuma 50% saja dari total polis. Wina juga mengungkapkan selama ini pemegang polis hanya bisa mendatangi kantor saja kalau mau menanyakan terkait klaim.

Baca Juga: AJB Bumiputera Rencanakan Penyelesaian Klaim Secara Bertahap Hingga 2027

Mengenai adanya opsi demutualisasi, Wina menyambut baik semisal didemutualisasi, asalkan yang terpenting bisa membayarkan hak pemegang polis sepenuhnya. Sebab, mutual saat ini belum bisa menyelesaikan permasalahan yang terjadi sejak lama.

Sebagai informasi, OJK menyebut melalui revisi RPK, AJB Bumiputera ternyata masih memilih penyehatan dalam bentuk usaha bersama (mutual). Adapun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan pernyataan tidak keberatan atas revisi RPK pada 1 Juli 2024. 

Lebih lanjut, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menjelaskan RPK merupakan usulan manajemen AJB Bumiputera yang telah disetujui Rapat Umum Anggota (RUA) melalui sidang luar biasa. Dalam RPK juga terdapat soal rencana perubahan badan hukum dari usaha bersama menjadi demutualisasi. 

"Perubahan badan hukum itu juga telah diatur dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera. Selain sesuai dengan ketentuan perundangan, pilihan opsi demutualisasi dilakukan Bumiputera dengan berupaya seoptimal mungkin terlebih dahulu menyehatkan perusahaan dengan skema penyehatan dalam bentuk usaha bersama (mutual)," ucapnya dalam lembar jawaban tertulis RDK OJK, Kamis (11/7).

Apabila pada batas waktu yang ditentukan dinilai tidak mampu menjalankan opsi mutual, Ogi bilang AJB Bumiputera yang telah diberikan waktu panjang untuk menyehatkan dalam skema tersebut harus menentukan opsi lain yang diatur dalam peraturan perundangan, termasuk anggaran dasar atau bisa terlaksana demutualisasi.

Ogi juga menyampaikan salah satu keunggulan dari demutualisasi adalah kemungkinan penyehatan yang tidak hanya didasarkan kepada kemampuan pemegang polis yang telah ada selaku pemilik perusahaan atau setara pemegang saham. Namun, opsi demutualisasi memungkinkan adanya tambahan modal dari investor strategis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×