Reporter: Nurul Kolbi, Roy Franedya |
JAKARTA. Polemik status kantor cabang bank asing (KCBA) tidak hanya terjadi di kalangan ekonom. Di Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rancangan Undang-Undang Perbankan, perbedaan tak terelakkan.
Dolfie OFP, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, bilang, pasal yang mewajibkan KCBA berbadan hukum Indonesia harus berlaku untuk bank asing yang sudah ada saat ini atau existing.
Tanpa pemberlakuan aturan secara surut, pasal tersebut menjadi mubazir dan tak ada gunanya. "BI sudah menutup izin baru bagi KCBA. Jadi, kalau aturan hanya berlaku untuk KCBA yang akan datang, apa gunanya pasal tersebut," katanya, Selasa (22/1).
Menurut Dolfie, bank asing tidak akan keberatan dengan pengaturan itu. Sebab, mereka juga sadar kewajiban bank asing berbadan hukum lokal sudah menjadi kesepahaman bersama. "Masalah ini juga sudah direkomendasikan peserta pertemuan G-20. Aneh kalau negara lain mengatur, kita tidak mengikuti," katanya. Penataan ulang izin cabang bank asing menjadi wacana global sebagai pembelajaran krisis finansial tahun 2008.
Yang paling krusial dari pasal ini, lanjut Dolfie, adalah pembahasan masa transisi. Jadui, bukan lagi berdebat apakah aturan ini berlaku surut atau tidak. "Regulator juga perlu menyiapkan insentif bagi KCBA yang mau mengubah status hukumnya lebih cepat dari yang ditentukan," katanya. Sejauh ini usulan yang berkembang masa transisi minimal lima tahun.
Dolfie menambahkan, draf RUU yang beredar saat ini masih terbilang mentah. Panja RUU Perbankan tengah menajamkan poin-poin RUU, dengan mengundang semua stakeholder di industri ini. Antara lain Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bankir, pakar hukum dan ekonom. "Setelah ada draf final, barulah fraksi-fraksi memberikan pandangan. Setelah itu RUU dibahas untuk diundangkan," katanya.
Pendapat Dolfie ini bertolak belakang dengan pernyataan Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR. Politisi Partai Golkar ini menegaskan UU tidak bisa berlaku surut. Artinya, hanya berlaku untuk KCBA yang akan datang, meski BI sudah menutup perizinan KCBA. "Mau surut sampai berapa puluh tahun ke belakang? UU itu tidak bisa menerapkan asas retroaktif," katanya, Ahad lalu (21/1)
Chief Economist Bank Negara Indonesia (BNI), Ryan Kiryanto, sependapat dengan Dolfie. Menurut dia, DPR perlu mencantumkan asas retroaktif dalam pasal itu agar bisa diaplikasikan. "Tapi aturannya harus hati-hati agar tidak terkesan anti-asing," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News