Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kendati diterpa sentimen negatif di pasar global. Kepala Riset Fixed Income PT Bank Mandiri Tbk Handy Yunianto menilai kondisi pasar obligasi di Indonesia saat ini masih cukup menarik. Terutama dari sisi imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) yang lebih baik ketimbang obligasi Pemerintah di luar negeri.
Menurutnya, yield SBN meningkat 3,28% sejak akhir tahun 2018 lalu. Posisi ini berbanding terbalik dengan tren di negara maju. Contohnya, obligasi Pemerintah Amerika Serikat yang kian melandai akibat data ekonomi yang tak kunjung membaik.
Kondisi ini praktis menjadi daya tarik bagi investor asing untuk datang ke Indonesia. "Ketika US treasury bonds ini tidak sekuat dulu, dan return yang positif di obligasi. Maka kini investor bersikap memegang SBN secara jangka panjang, bukan hot money lagi," katanya di Jakarta, Rabu (15/5).
Hal ini pun membawa angin segar bagi industri perbankan Tanah Air yang termasuk paling aktif menerbitkan obligasi. Sejumlah bankir juga sepakat kalau ada terdapat potensi yang menarik bagi bank untuk menerbitkan obligasi atau instrumen surat utang lain.
Direktur Keuangan Bank Mandiri Panji Irawan mengatakan, meski tak berniat menerbitkan obligasi dalam waktu dekat, perseroan membuka opsi tersebut bila diperlukan.
Bukan cuma melalui penerbitan obligasi, Panji menyebut masih positifnya tren di pasar obligasi juga membuka peluang bagi perbankan untuk mencari alokasi penyaluran kredit. "Untuk bank relatif baik, bisa jadi pelengkap kredit. Kalau tidak ada permintaan kredit kita bisa masuk ke obligasi baik itu korporasi atau Pemerintah," ujarnya.
Wajar, dalam beberapa waktu terakhir Bank Mandiri memang sudah menerbitkan surat utang. Salah satunya negotiable certificate of deposit (NCD) sebesar Rp 500 miliar awal Desember 2018 lalu dan global bond senilai US$ 750 juta atau Rp 10,5 triliun di awal kuartal II 2019. Awal tahun lalu, Panji memang mengatakan kalau pihaknya memiliki ekses ke pasar modal untuk kebutuhan likuiditas sebanyak Rp 40 triliun.
"Kami masih pakai yang lama, sudah ada global bond dan sebelumnya NCD. Kami melihat dinamika di pasar," terangnya. Bank bersandi bursa BMRI ini pun membuka potensi penerbitan obligasi di Semester II 2019 jika likuiditas kurang.
Senada, Direktur Keuangan PT Bank Bukopin Tbk Rachmat Kaimuddin juga menyebut pasar obligasi di Indonesia masih sangat menarik. Bank berkode emiten BBKP ini pun memiliki rencana untuk menerbitkan oblgiasi di Semester II 2019 dengan nilai maksimal sebesar Rp 1 triliun.
"Memang ada, kami ingin surat berharga tapi baru di kuartal IV mungkin ya. Rencana kami kebutuhannya Rp 3 triliun total, dalam banyak macam," katanya saat ditemui di Jakarta, Rabu (15/5) malam.
Bank Bukopin juga masih memiliki rencana penerbitan KIK EBA senilai Rp 1 triliun yang saat ini tinggal menunggu izin efektif dari regulator. "Kami menunggu efektif, mungkin di kuartal III awal. Kalau bisa efektifnya di akhir Juni kemungkinan," sambungnya.
Dana tersebut menurutnya akan dipakai untuk mendorong pertumbuhan kredit sebesar 8% untuk menggapai laba Rp 400 miliar di 2019.
Sebagai tambahan informasi, sejumlah bank memang sudah punya rencana untuk menerbitkan obligasi tahun ini. Terbaru misalnya, PT Bank Danamon Indonesia Tbk yang menerbitkan penawaran umum berkelanjutan (PUB) tahap I senilai Rp 2 triliun.
Perseroan sebelumnya juga berniat menerbitkan kembali obligasi bila dibutuhkan di Semester II 2019. Selain Bank Danamon, PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII) juga akan segera menerbitkan obligasi senilai Rp 1 triliun bertajuk obligasi berkelanjutan II Bank Maybank Indonesia tahap 1 Tahun 2019.
Pun, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) juga memiliki opsi menerbitkan pinjaman subordinasi sebesar Rp 3 triliun untuk menjaga CAR stabil 18% di 2019. Merujuk pipeline Bursa Efek Indonesia (BEI) ada beberapa bank lain yang akan menerbitkan obligasi pada tahun ini. Antara lain PT Bank QNB Indonesia Tbk (BQNB) senilai Rp 200 miliar dan PT Bank Victoria International Tbk (BVIC) sebanyak Rp 100 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News