kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.543.000   4.000   0,26%
  • USD/IDR 15.838   -98,00   -0,62%
  • IDX 7.384   -108,06   -1,44%
  • KOMPAS100 1.138   -20,96   -1,81%
  • LQ45 901   -18,70   -2,03%
  • ISSI 224   -1,86   -0,82%
  • IDX30 463   -11,32   -2,38%
  • IDXHIDIV20 560   -12,38   -2,16%
  • IDX80 130   -2,40   -1,81%
  • IDXV30 139   -1,66   -1,18%
  • IDXQ30 155   -3,12   -1,97%

Penawaran Yawadwipa dianggap lelucon oleh pengamat


Rabu, 08 Februari 2012 / 13:26 WIB
Penawaran Yawadwipa dianggap lelucon oleh pengamat
ILUSTRASI. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta, Kamis (17/9/2020).


Reporter: Dyah Megasari |

JAKARTA. Ada langkah mengejutkan yang dilakukan Yawadwipa Companies. Perusahaan investasi yang baru saja berdiri bulan lalu itu tiba-tiba mengajukan penawaran pembelian PT Bank Mutiara Tbk (BCIC) dengan harga sangat tinggi, yakni Rp 6,7 triliun.

Terang saja, langkah Yawadwipa ini sangat mengejutkan dan banyak mengundang tanda tanya. Banyak yang menanggapi dengan skeptis. Bahkan tak sedikit yang menuding keinginan Yawadwipa ini mencari sensasi. Sebab penawaran senilai dana talangan yang berikan oleh pemerintah untuk menyelamatkan bank tersebut dinilai terlalu tinggi.

"Saya skeptis dengan rencana tersebut karena lembaga tersebut masih baru. Tidak punya track record. Duitnya dari mana? Jangan-jangan money laundering," ucap pengamat perbankan Tony Prasetiantono, Selasa (7/2).

Komentar miring juga datang dari Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achsanul Qasasi. Menurutnya, institusi keuangan itu hanya cari sensasi. "Enggak ada orang atau perusahaan di dunia ini yang mau beli bank bukannya datang ke pemiliknya tetapi malah gembar-gembor ngomong ke koran. Terkesan cari sensasi saja, kalau memang niat beli, datang ke LPS bawa letter of intent, bicara dan buat pra due diligence," tukasnya.

Tanggapan senada juga datang dari Ekonom Dradjad Wibowo. Ia menilai penawaran yang diajukan Yawadwipa merupakan lelucon karena banyak persyaratan yang tidak terpenuhi oleh perusahaan equity fund itu.

"Saya sih menganggap penawaran tersebut sebagai lelucon. Persyaratan administratif, Yawadwipa tidak memenuhi. Dia baru berdiri 2012, sementara pembeli Bank Century harus sudah bergerak di perbankan selama minimal tiga tahun yang dibuktikan dengan laporan keuangan," tutur Dradjad.

Yawadwipa optimis

Meski ditanggapi secara skeptis, Presiden Direktur Yawadwipa C. Christopher Holm menyatakan optimismenya. Menurut Christopher, pihaknya mempunyai visi untuk mengembangkan Bank Mutiara. Ambisinya, menjadikan Mutiara sebagai bank kelas regional pertama di Indonesia seperti bank asal Malaysia yakni CIMB dan Maybank.

"Mutiara bisa menjadi bank pertama di Indonesia yang berkelas regional seperti CIMB dan Maybank asal Malaysia. Memang akan banyak tantangan yang dihadapi ke depan," jelas Holm, Selasa (7/2).

Diakui Holm, sebelum memutuskan untuk membeli Bank Mutiara seharga US$ 750 juta atau sekitar Rp 6,75 triliun, Yawadwipa telah secara menyeluruh melihat kinerja operasi dan keuangan bank eks Century yang jadi korban krisis di 2008 ini.

"Kami siap untuk bekerjasama dengan manajemen Bank Mutiara soal rencana pembelian ini serta untuk menyiapkan strategi inisiatif soal langkah-langkah ke depan. Kami ingin bank ini menjadi kuat secara bisnis," jelas Holm. Holm juga mengaku ketertarikannya membeli Bank Mutiara karena terinpirasi sukses BCA.

Yawadwipa baru saja berdiri awal tahun 2012. Saat ini perusahaan tersebut masih menyusun tim dan dana untuk akuisisi Bank Mutiara. Namun sayangnya, tidak disebutkan sumber pendanaan untuk aksi korporasi tersebut.

Yawadwipa memiliki dua kantor, yaitu di Jakarta dan Singapura. Alamat lengkap kantor Jakarta di Menara 2 lantai 17 Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI). Sementara kantornya di Singapura terletak di Singapore Land Tower lantai 37 di jalan 50 Raffles Place.

Bank Mutiara memang sudah lama akan dijual oleh pemerintah. Pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menguasai 99,99% saham Bank Mutiara melalui bailout senilai Rp 6,7 triliun. Pemegang saham lama terdilusi paksa menjadi hanya sebesar 0,004% dan akan hilang setelah dijual nanti. Hingga akhir 2011, LPS menyampaikan Bank Mutiara memperoleh laba Rp 291 miliar (unaudited). Angka ini naik dari tahun sebelumnya Rp 218 miliar. (Prawira Maulana/TribunNews)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×